Bab 24 - Bertemu

59 20 4
                                    

Joshua melenggang lesu ketika menginjakkan kaki kembali di kediaman Budiman. Kemudian jatuh terduduk di sebuah sofa, ruang tamu, dan menghempaskan setumpuk kertas HVS ke atas meja. Kepalanya tertunduk. Kedua tangan menarik rambut hitam kecoklatan yang kian panjang beberapa centi.

Sejenak dia melihat sekilas ke tumpukan kertas di hadapan lalu berpaling darinya. Untuk kedua kali naskah Joshua dipulangkan dari kantor penerbitan. Pertama di Busan. Kedua di Jogja. Semakin lama dipikir Joshua semakin penasaran.

Apa yang membuat kedua editor itu tidak tertarik dengan tulisannya? Walau sudah dijelaskan alasan sebelumnya, Joshua tetap tidak puas. Dia lantas bangkit dari sofa, meraih setumpuk kertas HVS di atas meja. Berjalan terburu-buru menuju ruangan baca rahasia Budiman.

Barangkali Budi masih asik berlama-lama di dalam sana sejak Joshua pamit ke kantor penerbitan tadi.

Sayangnya yang dia temukan adalah udara kosong, tak menunjukkan sosok itu di tempat. Joshua bisa aja keluar dan bertanya kepada Mbok Susi, Budiman ada dimana, atau mengecek sekeliling rumah.

Akan tetapi hal paling simpel bagi Joshua adalah berdiam diri dan biarkan apa yang dia cari atau dia butuhkan datang dengan sendirinya. Selagi berada di dalam, tak ada salahnya melihat-lihat beberapa judul buku yang berjejer rapi.

Joshua melirik dari satu buku ke buku lain. Dari judul panjang hingga pendek. Dari buku tebal hingga tipis dan dari buku kusam hingga bersih. Pemuda itu terkagum ketika melihat setiap buku yang ada sangat bervariasi.

Buku filsafat, ada. Buku kumpulan puisi, ada. Buku pengembangan diri, ada. Buku biografi, ada. Buku sejarah, ada. Dan masih banyak lagi yang tak bisa Joshua hafal satu-satu di benak.

Joshua juga sempat berpikir, jika pembaca bisa membaca sebanyak ini seharusnya penulis sepertinya bisa membaca lebih dari ini, tapi justru tidak sesuai yang dibayangkan.

Malah dia jarang sekali membaca buku apalagi mempunyai rak buku pribadi. Karena terlalu fokus menulis sampai kewajiban seorang penulis untuk membaca buku-buku serasa seperti hal yang tabu untuk dilakukan. Biarpun itu meriset kecil-kecilan untuk kebutuhan tulisan, kendati demikian Joshua pasti malas juga.

Dari sekian deretan buku. Ada deretan buku yang menarik perhatian Joshua.

Pada rak bagian tengah, dia mendapati hanya satu nama  penulis di setiap buku yang berjejer. Itu menandakan Budiman memang benar-benar mengagumi tulisan penyair itu.

Siapa lagi kalau Tirto Koesno. Yang digadang-gadang sebagai penulis sekaligus penyair kondang.

"Joshua?"

Begitu suara berat dari luar pintu terdengar, Joshua tersentak sedikit lalu berbalik badan dan melihat perawakan kokoh pria renta itu nongol di ambang pintu terbuka.

"Eh ... Pak Budi."

Budiman menatap heran lalu melihat setumpuk kertas HVS yang masih digenggam oleh Joshua.

"Naskahmu ditolak toh, Joshua?"

Joshua cengingiran dan mengangguk.

Budiman memang sudah tahu hal itu karena Joshua yang menceritakannya sebelum pergi keluar tadi.

Joshua sampai harus nulis dua kali di setumpuk kertas HVS sebelum menyerahkan naskah ke penerbit lantaran Budiman yang mengusulkan untuk mengetik naskah itu dengan menggunakan laptop miliknya.

"Kemarilah, biar saya lihat dimana letak kesalahan naskahmu," ajak Budiman seraya menggerakkan tangannya.

Macam tahu betul jika niat Joshua sesungguhnya memang untuk itu.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now