Bab 23 - Sang Legenda

50 21 0
                                    

     Lamunan Joshua buyar sekejap saat Budiman sepintas memergokinya termenung.

     Joshua tersenyum kikuk.

     Di saat yang sama, dia langsung bertanya kepada pria tersebut barangkali ada nomor sang ayah yang dapat dihubungi lantaran ayahnya tidak pernah membagi nomor telepon rumah atau dari tempat kerja kepadanya apalagi kepada sang ibu.

     Namun, yang dikatakan Budiman justru hasilnya sama.

     Nihil.

     Mungkin, itulah alasan mengapa sang ayah mengiming-imingi bertukar kabar lewat surat.

     Joshua lantas beranjak, kembali menuju kamar tidur.

     Karena suntuk rebahan terus dan terlalu memikirkan perkataan sang ibu di telepon tadi sehingga membuat kepalanya pening. Joshua lantas merogoh ransel yang tergantung di dinding. Hendak mengeluarkan sebuah notebook mungil dan sebuah bolpoint.

     Sudah lama rasanya Joshua tidak menulis puisi lagi sejak diterpa Writer's Block kemarin-kemarin karena terlanjur sibuk dengan urusan ini dan itu.

     Begitu dia mendapatkannya, selembar kartu tak sengaja terjatuh dari dalam ransel.

     Joshua berjongkok, mengerutkan kening. Tangannya meraih kartu tersebut, tiba-tiba saraf otaknya mulai memberitahu akan sesuatu.

      Ini bukannya kartu nama Kartika?

     Astaga! Aku lupa kalau mba Tika ada janji buat nerima naskahku!

     Joshua memekik histeris dalam diam.

     Ah, di saat ada kesempatan gini masa disia-siakan gitu saja?

     Kemudian memperingati dirinya

     Dia lantas menggeleng-geleng kepala. Kemudian merogoh ransel, mengambil beberapa lembaran potongan puisi miliknya untuk disatukan menjadi sebuah naskah utuh.

     Sayang sekali, dia harus menyalin ke dalam kertas yang baru dikarenakan media yang dia gunakan sangatlah tidak wajar. Malah jadi tambah kerjaan baru saking repotnya itu.

     Joshua lantas keluar kamar, berinisiatif untuk menghampiri Budiman.

     Terlihat pria renta itu sedang menyesap secangkir kopi dengan nikmat sambil membaca surat kabar dengan takzim, duduk manis di sebuah sofa, ruang keluarga yang terhubung langsung dengan ruang tamu.

     "Pak Budi, bapak ada kertas HVS?"

     Budiman menelengkan kepala dari surat kabar, melihat seseorang yang tengah berdiri di hadapannya sekarang.

     "Ada. Ngomong-ngomong kertas HVS buat apa, Joshua?" tanya Budiman seraya meletakkan cangkir kopi ke atas meja di dekatnya.

     "Ya, untuk menulis, Pak."

     Sesaat Budiman terkekeh, melipat lalu menghempaskan surat kabar ke atas meja.

     "Kalau itu sih saya juga tahu. Maksud saya, mau ditulis apa gitu?"

     Lantas Budiman bangkit dari sofa. Berjalan menuju suatu tempat, Joshua lekas mengikutinya dari belakang.

     "Kumpulan Puisi, Pak Budi."

     Budiman manggut-manggut paham. Mereka kemudian tiba di sebuah ruangan yang sisi kanan-kirinya dipenuhi dengan rak buku usang. Terdapat berbagai macam barang rongsokan yang dimuat dalam kardus, tergeletak di sudut ruangan.

     Tangan urakan Budiman meraih satu rim kertas HVS dari dalam lemari kecil, di bawah rak buku.

     Lalu menyerahkan beberapa lembar kepada Joshua sembari berujar, "Menghasilkan sebuah karya itu bagus, Joshua. Terlebih dalam bentuk tulisan. Kamu dapat mengubah persepsi banyak orang melalui tulisan."

Jendela Joshua (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang