Bab 10 - Adaptasi Baru (Lagi)

116 33 0
                                    

     Di kamar dia merenung seorang diri. Menatap kosong ke arah jendela bersorot cahaya kejinggaan bagaikan orang yang tak punya tujuan hidup lebih lama lagi.

     Jika konteksnya diralat, tujuannya yang hilang arah kemudian tersesat di suatu tempat yang tak pernah Joshua kunjungi sebelumnya. Betapa linglung, sang anak yang rela merantau jauh demi menemui sang ayah yang sampai sekarang belum terlacak keberadaannya.

     Joshua bukanlah sebuah robot yang siap siaga melacaki selama dua puluh empat jam. Dia hanya manusia biasa. Dan kata "lemah" merupakan nama tengah yang Seo Mi sematkan padanya.

     Jujur saja, dia lelah. Dia sudah kalah lebih awal sebelum ronde tiga baru saja dimulai. Bekerja paruh waktu, membuat sekujur tubuhnya pegal-pegal adapula sampai beberapa bagian yang terkilir.

     Dia belum mengumpulkan niat untuk beranjak dari kamar sehabis dirinya dan Hendra berbelanja kebutuhan kedai. Kini batinnya terusik terhadap kegaduhan yang diciptakan orang-orang yang sedang berbenah di lantai bawah.

     Karena sebentar lagi bulan akan berganti, menandakan bahwa kabar baik akan segera menanti.

     Di mana kalender masehi tahun 2005 yang terpajang pada dinding kamar sebagai saksinya dan terhitung telah berjalan dua puluh lima hari terakhir, yang sialnya bagi dia belum genap tiga minggu bekerja di Kedai Sejahtera.

     Acap kali terdengar desas-desus pencairan gaji yang akan diterima, di kala Joshua harus menerima dan memenuhi kesepakatannya dengan Marzuki.

     Dia merogoh ransel, mengambil paspor dan data-data imigrannya yang lain. Dokumen-dokumen inilah yang dimintai keterangan oleh Marzuki dari awal sebelum dibolehkan bekerja, dia tidak suka menerima orang asing seperti Joshua, lebih tepatnya yang tidak jelas asal usulnya darimana sehingga dicap sebagai "imigran ilegal."

     Dua-tiga kali Joshua menyakinkan bahwa dia memang imigran asal Korsel. Akan tetapi bagi Marzuki tanpa adanya bukti yang jelas itu sama saja dusta. Untuk apa bekerja kalau dokumen-dokumen itu tidak ada.

     Joshua bungkam seketika, karena pada saat itu ranselnya hilang. Jika dia mendatangi Kedubes dan kantor imigrasi, dengan niat membuat dokumen baru, tentu ujung-ujungnya berurusan dengan uang.

     Hendra yang menyimak kemudian unjuk gigi, menjelaskan kepada Marzuki dan memohon agar Joshua dapat tinggal.

     Sederhananya, Joshua sangat membutuhkan uang dan juga tempat tinggal. Marzuki menghela napas, memikirkan bagaimana caranya supaya urusan ini ada titik terangnya. Lantas, pria itu mengeluarkan persyaratan, Joshua mengangguk setuju dengan penuh tekad, yakin apapun itu dia akan hadapi dengan sukarela.

     "Begini saja, saya beri kamu waktu kerja selama tiga minggu. Ketika gaji diterima akhir bulan, kamu langsung saja buat dokumen itu agar saya bisa mendata kamu sebagai karyawan tetap. Saya nggak mau tahu kalau gaji itu cukup untuk membuat dokumen yang baru atau nggak, pandai-pandai kamu nyari uang dimana, saya nggak peduli. Kalau kamu nggak sampai menyerahkan dokumen-dokumennya pada saya, saya akan memecatmu dengan senang hati."

     Sungguh ketika mengulang perkataan itu di benak, saat ini Joshua terkekeh hambar. Takdir pun seolah berbaik hati. Bersyukur dia bisa mendapatkan dokumennya kembali karena tak perlu bersusah payah. Alih-alih datang Kedubes dan kantor imigrasi justru dia bertemu dengan Budi lalu pria renta itu mengembalikan barang tersebut dengan mudah.

     Sejenak, hati pemuda itu terpukul pelan kemudian bergumam, "Maaf ... yah, anakmu ini menyerah di saat gentar ingin menemuimu dan meninggalkan Eomma di rumah sendirian."

     Dia mengiris pilu, melempar paspor ke sembarang arah. Jatuh terduduk pada kasur, mengacak-ngacak rambut sembari mengerang tak karuan. Berharap ada keajaiban yang menimpa di dunia nyata padahal dia tahu itu tak akan terjadi melainkan di dunia fiktif belaka. Terkadang keberuntungan cuma datang sekali, dua kali, atau tiga kali seumur hidup.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now