Bab 08 - Dugaan Mengenai Pakde

127 39 10
                                    

Lagi-lagi Joshua salah langkah. Kalaupun dia menolak ajakan murahan dengan embel-embel traktir, seharusnya jangan langsung tergoda tanpa tahu menahu bagaimana nasibnya ke depan.

Teruntuk orang awam, sekecil apapun itu kemungkinan akan berkonsekuensi. Paling tidak mereka akan menghadapi tanpa memikirkan keputusan yang telah dibuat lalu anggaplah hal itu tidak pernah terjadi.

Tetapi Joshua adalah kebalikan dari itu. Padahal mereka bertiga sudah diingatkan dari awal oleh Umar untuk tidak pergi keluar larut malam dan mereka tidak mau mendengarkan. Kalau Joshua? Tentu saja dia pura-pura tidak mendengar, pemuda nan lugu yang tertipu akan hawa nafsu.

Bagaimana tatapan tajam itu dihunuskan ternyata sebanding dengan tatapan sang ibu. Itu yang membuat Joshua meneguk air liur berkali-kali, menunduk dan mencoba memalingkan perhatian. Justru karena Umar, Joshua dapat dengan santai menghadapinya.

"Ojo ngono, (Jangan begitu) Mar. Kita nih mau masuk," desak Dodit harap-harap cemas di saat pintu besi berderit pelan, bergeser sedikit demi sedikit oleh empunya.

Hendra dan Joshua menyetujui dengan sepasang wajah melas yang terpatri walaupun mereka tahu itu tidak akan mempan terhadap perhatian dingin Umar yang pasti tak menaruh belas kasih.

"Nggak usah masuk," kata Umar singkat. Lalu pintu semakin bergeser. "Parah! Traktir nggak bilang-bilang!"

"Ya, kalau apa-apa diajak keluar makan, ujung-ujungnya kamu nggak mau, Mar."Hendra lantas mengungkapkan fakta yang ada. Umar memicingkan mata lebih tajam.

"Kalau traktir, aku mau lah woi!"

Pintu besi tersentak kuat, bergeser dalam tarikan kencang hingga menyisakan celah yang tinggal menampakkan separuh wajah Umar.

Demikian Dodit memutar otak.

"Wis mangan apa durung? (Udah makan atau belum?)" tanyanya pada Umar lantas menyodorkan sebungkus makanan yang kebetulan sengaja dia bawa pulang.

"Nih, untuk kowe, Mar. Ojo lali dipangan yo (Jangan lupa dimakan ya)."

Dengan begitu, peluang untuk meluluhkan nurani Umar menjadi lebih mudah serta pintu besi menganga lebar untuk mereka bertiga.

Kalau orang-orang terbuai akan tawaran manis, tentu tidak mungkin menolak hal yang menguntungkan bagi mereka terhadap sesuatu yang jelas menang telak sesuai kesepakatan yang dibuat antar dua belah pihak.

Pada dasarnya seekor tikus yang ingin terlepas dari cengkeraman harimau yang kelaparan. Tikus itu melakukan berbagai cara untuk bisa melarikan diri, salah satunya dengan cara menawarkan suatu hal, menyakinkan bahwa Harimau itu akan mendapatkan balasan apabila melepaskannya. Dan buaian-buaian daging lezat itu berhasil.

Akan tetapi di situasi kali ini sangatlah berbeda. Sang raja hutan tak bisa dikelabui atas tawaran dari sang hewan pengerat. Insting Harimau yang seperti biasanya menajam, dapat mencium bau-bau kelicikan yang mampu memanipulasi diri.

Umar mengambil bungkusan tersebut. "Makasih Dit," ujarnya samar-samar masih dengan tampang mendatar.

"Apa kalian lupa?" Umar menyeringai, melebarkan celah pintu menjadi seutuh bagian tubuhnya.

"Kalau ada yang keluar lewat dari pukul sepuluh ke atas. Mereka nggak diizinkan masuk ke kedai."

Keinginan mereka bertiga lantas digagalkan.

Joshua mengingat perkataan itu yang persis di saat pertama kali Marzuki menegaskan. Pria itu juga memberi tahu alasan kenapa para karyawan yang direkrut di sini harus menetap tinggal sebab waktu itu sangat berharga, lebih berharga dari berlian dan emas.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now