Bab 07 - Traktiran

142 37 29
                                    

     Kursi-kursi plastik diangkat ke atas meja. Ubin lantai terlihat berkerak, menjejalkan beragam noda, dan kotoran-kotoran yang menempel.

     Kini dua-tiga pemuda satu per satu mengambil kain pel beserta seember air bercampur cairan pembersih guna membasmi lantai tersebut agar terlihat mengkilap.

     Selebihnya, sibuk di kamar masing-masing lalu sisa dari mereka sedang pergi keluar membeli bahan masakan sebelum kedai itu akan dibuka untuk para pelanggan.

      Joshua menghela napas pasrah ketika mereka bertiga menjadi sasaran langsung oleh Marzuki. Joshua merutuki diri seandainya saja dia di dalam kamar menyibukkan diri dengan beberapa karangannya, mungkin tak akan bergabung dengan mereka saat ini.

     "Kenapa Pakde datang tiba-tiba nyuruh kita bersih-bersih? Orang baru datang juga." Hendra menghentak keras kain pel yang baru saja diperas. Mengepel kesana-kemari dengan agresif sambil mengeluarkan rasa keluhnya.

     "Diamlah kribo, nggak usah banyak cerita. Kerjakan saja yang sudah Pakde suruh," timpal seorang pemuda yang ikut terlibat. Memasang wajah datar dengan manik elang yang tak lepas terhadap presensi di seberangnya.

     "Y-yah, lain cerita kalau kamu, Umar. kamu emang terbiasa gitu. Apa-apa yang Pakde suruh kamu ngerjain."

     "Gini-gini juga demi uang. Karena nyari pekerjaan itu susah-susah gampang!" ujar pemuda itu final.

     Joshua sendiri tak terlalu mengenal sosok dari rekan seniornya itu, tapi jika dipikir-pikir, perkataan Umar Fattih masuk akal juga. Seketika ruangan kala itu menjadi hening di antara mereka bertiga terakhir kali Umar berbicara. Namun sesaat kemudian Hendra kembali memecah keheningan.

     "Heran aku sama karyawan lain dapat kerja yang bagus-bagus. Padahal mereka orangnya nggak jauh beda sama kita. Ada yang jadi tukang masaknya lah, jadi tukang kasirnya lah, yang gini lah yang gitu lah."

     Keluhan Hendra menjadi-jadi, bukan suatu hal yang bagus apabila diteruskan, lantas Joshua mengambil sikap.

     "Sudahlah Hen, Mas Umar benar. Kita tuh digaji emang untuk ini. Jadi pelayan atau pramusaji yang melayani pelanggan."

     "Nah!" seru Umar setelah mendapat pembelaan dari Joshua.

     "Iya ... tapi masa kita doang? Anak-anak lain pada kemana saja?"

     Joshua dan Umar mengidik bahu perlahan, salah satu dari mereka tak ingin memperpanjang suatu masalah yang ada terkait apa yang Hendra katakan barusan.

     Lagipula hal tersebut lambat-laun akan menjadi angin lalu nantinya. Tidak begitu penting. Mereka bertiga melanjutkan mengepel lantai. Sekitar sepuluh menit berjalan akhirnya pekerjaan pun beres di tangan mereka masing-masing.

     Di kala jam kosong menyapa, pemuda-pemuda itu menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak. Mumpung sang pemilik kedai tidak menampakkan batang hidungnya di hadapan mereka bertiga. Mencuri kesempatan emas tak ada salahnya bukan?

     Hendak saja melakukannya, kemunculan suara nyaring mengejutkan mereka.

     "Wah ... wah ... wah ... sudah lama banget semenjak kutinggalkan. Kedai ini masih sama saja ternyata."

     Sosok itu menelisik dari atas bangunan hingga ke bawah. Pemuda berkulit kuning langsat, berperawakan sedikit bungkuk, merekah senyum lebar-lebar sembari merentangkan tangan ke kiri dan ke kanan setelah pandangannya tertuju pada presensi Umar dan Hendra.

     "Hei Kancaku, piye kabare? (Halo kawanku apa kabar?)"

     Mata Umar dan Hendra berbinar-binar kemudian mendekat. Pemuda itu langsung berhambur memeluk keduanya tanpa aba-aba.

Jendela Joshua (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang