Bab 13 - Ruang Temu Asa

82 29 0
                                    

Kekalutan kian menjalari Joshua di kala ruangan lima meter persegi terasa begitu senyap layaknya kotak peredam. Di ruangan ini hanya terdapat lemari kayu yang hampir keropos termakan usia berada di pojokan yang berisi berbagai tumpukan kertas yang Joshua yakini berupa dokumen-dokumen penting lalu sebuah meja kayu melintang di tengah mereka.

Dia duduk menghadap seseorang yang kini mengecek data-data dirinya.

Temaram kecil kekuningan yang bergelantungan di antara mereka semakin membuat Joshua terintimidasi lantaran sinar yang diciptakan tidak terang menyeluruh ke berbagai sudut ruangan, berporos di atas kepala seolah membuat suasana menjadi dramatis seperti berada di film melankolis.

Joshua meneguk air liur susah payah akibat kerongkongan mengering lima detik setelahnya. Dia hanya bisa mengamati betul kerutan wajah Marzuki, sinar temaram pun memantulkan bayangan pada kacamata pria itu ketika menelisik dokumen miliknya. Bukan kerutan tanda tua, sewaktu-waktu kerutan itu terlihat begitu jelas dan menyeramkan bila pria tersebut sedang marah atau serius menjalankan tugasnya.

Daripada Marzuki yang sejak dua puluh detik yang lalu sibuk sendiri, Joshua lebih tertarik mengamati jejeran foto hitam putih dan berwarna memenuhi separuh bagian dinding di belakang kepala Marzuki.

Terlihat bagaimana perkembangan Kedai Sejahtera dari masa ke masa hingga terlihat karyawan berbeda dari waktu berbeda ramai-ramai berkumpul depan kedai saling merekah senyum lebar tak lupa bersama pemilik mereka masing-masing dari generasi ke generasi.

Joshua lantas mengernyit dahi ketika perhatiannya jatuh pada satu foto berwarna paling akhir. Generasi ke lima, di mana karyawan-karyawan hanya menunjukkan wajah datar dengan senyuman yang agak dipaksakan bersama pemilik mereka, Marzuki. Tidak terlihat kesejahteraan yang terpancar di wajah-wajah mereka.

Tak lama mencerna, suara lirihan Marzuki memblokir pikirannya.

"Saya sudah mengecek dokumenmu, Joshua."

Baru kali ini nada suara Marzuki begitu bersahabat di telinga Joshua.

Respon yang didapat justru bukan tatapan sinis apalagi memasang sikap dingin.

Satu kata yang Joshua rasakan, terenyuh.

Mungkin saja Marzuki tak punya waktu bersikap demikian lantaran sedari tadi ketika Joshua memasuki ruangan, beliau bergelut dengan beberapa kertas di atas meja kerja.

Marzuki menghela napas sejenak. "Jika berkenan, saya ingin meminjam dokumenmu sementara untuk saya data nanti."

Joshua tak perlu menimang-nimang lagi. "Baiklah Pak De, dan terima kasih banyak sudah mengizinkan saya bekerja di sini."

Marzuki hanya mengangguk. "Nanti setelah datamu sudah saya masukkan, kamu bisa mengambil kembali dokumen-dokumenmu."

"Siap Pakde."

Ketika Joshua hendak beranjak dari kursi, dia terpikir sesuatu dan kembali pada posisi semula.

"Eum ... Pakde," lirih Joshua ragu-ragu.

Marzuki menghentikan kegiatan membenah kertas lalu meringsut kursi kantor beroda semakin dekat.

"Sebenarnya ada satu hal yang perlu saya tahu dan mungkin bapaklah yang bisa memberi tahu saya hal itu," ujar Joshua memancing penasaran Marzuki.

Ruangan membisu bersamaan ketukan-ketukan pena ke meja oleh Marzuki.

Dentingan jam yang berada di belakang pria itu membuat nyali Joshua mudah menciut. Jantungnya berdebar-debar tak karuan. Sangat menguji nyali Joshua untuk bersuara.

Jendela Joshua (End)Where stories live. Discover now