BAB 19 : Surat Mama

1.9K 165 8
                                    


Stay healthy and never give up pejuang sehat! Jangan lupa makan dan istirahat yang cukup ya, bunda!

Vote+komennya bunda:)

Happy reading ❤️

****

19. Surat Mama

Pagi ini Lisa bersama Karin dan Ayahnya pergi ke makam Mama. Sebenarnya ini bukan rencana mereka, tapi Lisa yang awalnya ingin pergi sendiri ke makam, namun rupanya Karin tidak mau membiarkan Lisa larut dalam rasa bersalahnya di makam Mama.

Lisa menabur bunga di atas gundukan tanah yang terawat. Lalu mereka menadahkan tangan memanjatkan doa untuk sang Mama yang telah pergi lebih dulu.

"Dek, Ayah sama Kakak duluan ke mobil ya, kita bakal nunggu disana."

"Makasih kak."

"Hm, bicara sepuas-puasnya sama Mama ya."

"Iya."

Ayah dan Karin pergi ke mobil meninggalkan Lisa yang masih duduk di samping makam Mama dengan sepucuk surat yang masih terbungkus rapi.

"Ma, Lisa takut bukannya. Tapi ini kan pesan terakhir Mama buat Lisa, jadi harus Lisa buka kan?"

Lisa membuka amplop surat itu, mengeluarkan sepucuk surat yang tertulis rapi disana. Dia membaca setiap bait yang Mamanya tulis, menghayati setiap paragraf yang dibanjiri air mata. Lisa tak pernah menyangka begitu banyak harapan dari Mamanya terhadapnya, harapan yang bahkan tidak pernah Lisa capai selama Mamanya masih ada.

Diakhir paragraf, Mamanya mengatakan satu kalimat yang amat menyayat hati.

“Nak, jika Mama bisa mengulang waktu. Mama akan melakukan banyak hal bersama kamu, Mama mau membayar semua waktu kosongmu dulu. Tapi semuanya tidak mungkin, maka dari itu hanya kata maaf yang Mama sampaikan lewat surat ini. Maaf karena tidak pernah menanyakan kabarmu, maaf karena lupa bahwa kamu lebih rapuh daripada Karin, maaf karena Mama belum bisa menjadi Mama terbaik untukmu..”

“diakhir surat, Mama hanya akan mengatakan bahwa Mama sangat menyayangi kamu segenap hati. Jaga dirimu baik-baik, Lisa. Dari Mama untuk Anak Mama yang paling kuat; Lisa.”

Lisa menangis keras di depan pusara sang Mama, benar kata orang penyesalan terbesar adalah saat kita tidak sempat mengatakan cinta pada orang yang jelas-jelas pantas menerima kata itu.

"Maafin Lisa mah, Maaf Lisa belum mengatakan bahwa Lisa juga sayang sama Mama. Yang tenang di sana, Mah. Makasih sudah menjadi Mamanya Lisa."

****

Lisa menatap kosong profilnya di website beasiswa. Rasanya masih belum terima dengan keputusan yang Ayahnya mengenai pembatalan beasiswanya. Walaupun masih kecewa, Lisa tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah keadaan. Hanya bisa pasrah dan meyakinkan diri bahwa ini adalah takdirnya.

Sebuah pesan masuk ke ponsel Lisa. Itu pesan dari Rendra yang ke sepuluh kalinya, namun Lisa tak menjawabnya. Dengan alasan Lisa beranggapan jika karena kehadiran Rendra lah kenapa Ayahnya memutuskan untuk menahannya di Indonesia dan tak membiarkannya pergi ke London untuk studi.

Lisa tau itu alasan yang sangat konyol, dia tau bahwa Rendra tak berhak di salahkan atas keputusan Ayahnya. Tapi Lisa tetap ingin marah pada Rendra.

"Dek, ada Rendra diluar tuh. Nyariin kamu," ujar Karin.

Lisa memilih menetap di dalam kamarnya walaupun jujur dia sudah tau Rendra datang beberapa menit lalu melihat lewat balkon kamarnya.

"Suruh balik aja, Lisa nggak mau pergi dulu."

"Dek, kamu seriusan nyuruh Rendra pergi? Dia kayaknya udah berharap banget loh pergi sama kamu."

"Udahlah kak, Lisa mau tidur nih!"

Karin menghela napasnya, dia memang tidak akan pernah bisa menang jika sudah berhadapan dengan adiknya yang keras kepala ini.

Dengan berat hati, Karin menemui Rendra yang duduk bersama Niel. Padahal baru saja bertemu, namun Rendra sudah terlihat dekat dengan Niel melalui obrolan yang makin lama makin seru itu.

"Ren, kayaknya Lisa lagi nggak mau keluar dulu deh."

Rendra tersenyum, "Oh, yaudah kak kalo gitu Rendra pamit aja deh."

"Maaf ya,"

"Iya nggak apa. Bang Niel, saya balik ya. Kapan-kapan kita bahas lagi soal tadi."

"Iya, santai nanti kita bahas di WhatsApp. Hati-hati ya!" ujar Niel.

Rendra keluar dari rumah keluarga Alaric dengan perasaan sedih. Walaupun tak tahu alasannya kenapa Lisa menghindarinya, tapi tetap saja Rendra merasa bersalah atas kemarahan gadis itu.

Sebelum masuk ke dalam mobilnya, Rendra menatap balkon kamar Lisa yang saat itu tertutup. Namun samar-samar ia melihat bayangan seseorang berdiri dibaliknya. Senyumnya merekah, dia tau jika Lisa diam-diam memperhatikannya dari atas. Walaupun menghindarinya, Rendra tau jika aslinya Lisa sangat ingin bertemu dengan Rendra. Hanya saja gengsi dan amarahnya yang tak jelas itu menghalangi kata hatinya.

Rendra berdiri tepat di depan balkon kamar Lisa.

"Lisa, aku tau kamu lagi marah sama aku. Tapi marahnya jangan lama-lama, nanti malah aku yang mati. Mati karena rasa kangen ke kamu. Kalo dirasa marahnya sudah reda, boleh aku minta kamu datang ke rumah Oma? Hari ini aku lomba pacuan kuda, mungkin rasanya akan beda kalo kamu ada disana. Lebih semangat!"

"Kalo misalnya masih belum reda juga, aku cuma berharap nanti malam hujan dan membuat rasa marah kamu itu reda seiring turunnya hujan. Biar nanti pelanginya datang bersama dengan senyuman kamu!"

Rendra terkekeh atas kata-katanya sendiri, "Yasudah aku pergi dulu ya, jangan balas pesanku kalo belum merasa baik hatinya. Aku pamit ya!" tukas Rendra sebelum akhirnya pergi meninggalkan kediaman Alaric.

Sedangkan Lisa yang masih senantiasa berdiri dibalik pintu balkon kamarnya hanya bisa tersenyum geli dengan kelakuan Rendra yang berteriak tak kenal malu hanya untuk membujuk Lisa dengan kata-kata yang amat menggelitik perut maupun hati.

"Dia selalu punya banyak cara buat gue ketawa gini, kan jadi luluh sebelum marah," decaknya.

Tanpa Lisa sadari ternyata kakaknya sudah berdiri dibelakangnya dengan tatapan penuh ejekan.

"Astaghfirullah, Kakak!" protesnya yang terkejut dengan kehadiran Kakaknya.

"Manis banget ya Rendra, jadi bikin adeknya Karin mesem-mesem gini."

Lisa tersenyum malu dengan cibiran kakaknya itu.

"Jadi gimana, mau tetap marah sama orang yang baru aja bikin kamu tersenyum gitu? Lagian dia nggak salah kok, kasihan loh dia harus tanggung kesalahan yang bahkan dia nggak tau apa kesalahan itu."

"Hm, iya sih."

"Jadi kita pergi?"

"Hah?"

"Kan katanya dia mau lomba pacuan kuda, jadi kita pergi kesana aja buat suprise sekalian semangatin calon menantu Alaric?"

"Dih apaan sih kak!"

"Jadi gimana, mau atau nggak?"

"Hm, yaudah kita pergi."

***

Lanjut/besok aja?

SenandikaWhere stories live. Discover now