14

585 79 0
                                    


( Reader Point of View )

    
     Hana membuka matanya perlahan, tenggorokan nya terasa kering dan kepalanya sedikit pening. Menghela nafas gusar saat menyadari di mana kini dirinya berada.

Kamar, Gedung Survey Corps.

Entah bagaimana cara Levi membawanya kembali ketempat itu, yang dirinya ingat hanyalah rasa sakit di leher karena sebuah benda tajam menembus permukaan kulitnya. Mengalirkan cairan yang menyatu dengan darah di urat dan di alirkan ke seluruh tubuh, membuat dirinya tak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama.

Ia alihkan pandangan pada sosok wanita berkacamata yang tengah tertidur di sisi kasurnya, wajahnya tampak penuh dengan rasa lelah. Apa yang terjadi pada maniak Titan satu ini? Itu yang Hana pikirkan.

Ruangan itu tak banyak berubah, semua susunan nya masih sama. Mungkin kali ini ia baru sadar jika kamarnya terlalu sering di bersihkan sampai-sampai tak di temukan satupun partikel debu yang hinggap pada jendela kaca.

Trauma mengembalikan ingatannya pada saat-saat menyedihkan di malam itu, ketika ia hanya bisa meringis menahan sakit dan memejamkan mata. Rasa perih di telapak tangan, rasa nyeri di sekujur tubuh bahkan rasa sakit pada kepalanya. Semua itu menyatu dan menciptakan kenangan buruk baginya.

Tak sadar, air mata menetes begitu saja. Sesak di dada begitu menyiksanya, ia hanya ingin hidup menjauh dan tenang. Tapi kenapa jiwanya begitu di permainkan?

Ia sudah mengorbankan kebahagiaan nya demi untuk bisa kembali ke dunia nyata, tapi kenapa dirinya masih berada di sana?

Hana sama sekali tak mengerti.

Pintu terbuka, seorang lelaki tinggi tegap masuk dengan salah satu tangan yang memegang semangkuk bubur hangat. Wajah itu, Erwin Smith.

" Ada yang sakit? " Itu kata-kata yang ia ucapkan, masih sama dengan senyum tulus dan mata teduhnya.

Gadis itu menggeleng, membuat sedikit pergerakan yang mengakibatkan Hanji terbangun dari tidurnya. Sang ilmuan tampak terkejut bukan main saat melihat Hana telah tersadar, memeluk tubuh gadis itu dengan erat.

" Oi! Jangan memeluknya sekencang itu, dia bisa benar-benar mati karenamu " Levi datang dengan raut datarnya seperti biasa.

Hanji hanya mendengus kesal, sedikit melonggarkan rengkuhan dan menatap wajah sang gadis Rubynson dengan senyum terbaik yang pernah ia berikan.

" Ketika shorty membawa seorang wanita ke sini, aku hampir tak percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi selama 5 tahun ini. Melihatmu di sini, aku kembali bisa merasakan kebahagiaan itu. Hana-chan " ucap Hanji dengan suara kecilnya.

" Kau tau? Hanji bahkan menangis sambil mengucapkan namamu berulang kali di depan pintu kamar karena Levi tak memperbolehkan nya untuk masuk. Kau terlihat jauh lebih baik setelah semua itu " Erwin meletakan mangkuk itu di atas meja, menoleh ke arah pintu kamar seakan memberi isyarat untuk seseorang masuk.

Seorang wanita dengan surai madu melangkahkan kakinya mendekati ranjang, air matanya sudah mengalir sejak tadi bersama dengan isakan. Oluo yang berada di belakangnya tampak memberikan tepukan di bahu sang gadis untuk berjalan mendekati Hana yang sejak tadi menatapnya dalam diam.

" Hana-chan, terimakasih karena sudah menyelamatkan ku waktu itu. Jika kau tak datang, mungkin aku akan benar-benar tak lagi bernyawa saat ini...

... Ketika aku tersadar, satu orang yang ku cari adalah kau. Tapi mereka semua hanya diam dan tak menjelaskan apapun, aku meminta agar Heichou mempertemukan ku dengan mu. Namun ia justru membawaku ke sebuah gundukan tanah dengan batu nisan, aku tak bisa merasakan hidup lagi setelah itu. Aku benar-benar bersalah atas semua kejadian yang kau alami, maafkan aku "

Hana menatap Levi dengan lekat, ia bingung harus bagaimana merespon ucapan Petra barusan.

" Gunakan mulutmu untuk bicara, aku tau kau hanya berpura-pura bisu untuk menutupi identitas mu. Kau sudah tak bisa mengelak lagi, kau itu Hana. Bukan Hellena "

" Tak apa-apa, jangan meminta maaf " Hana hanya bisa berkata demikian, namun ucapan singkat itu berhasil membuat Petra menangis begitu keras dan memeluknya dengan penuh rasa bersalah.

Semua orang di sana melihatnya, satu sosok itu telah kembali kepada mereka. Satu harapan baik dari Erwin, Hanji ataupun Levi. Mereka hanya mau lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan Hana, hanya itu.

.
.
.
.
.

" Saat itu, Jean bahkan tak sadar dengan menjadikan kaus kaki sebagai sarung tangan. Kami semua yang saat itu tengah sedih malah tak bisa menahan tawa, Hana-chan mungkin akan tertawa juga kalau melihatnya. " Connie menceritakan sebuah kejadian lucu di saat kematian Hana terdengar, bisa gadis itu lihat. Sosok utama dalam kisah itu justru kini hanya membuang muka menahan malu.

" Ah, ya! Wajah kudanya benar-benar memelas. Aku tak bisa membedakan mana ekspresi berduka dan bodohnya. " Kini, Eren menimpal. Jean langsung menjitak bocah Titan itu dan tentu saja di hadiahi tatapan maut dari Mikasa.

Sudah 1 jam para kadet 104 berada di kamar Hana, melepas rindu yang selama ini mereka rasakan. Sasha benar-benar menggenggam erat tangan kanannya seolah-olah takut untuk kehilangan, sedangkan Marco dan Armin hanya tersenyum kecil mendengarkan.

" Hana-san, apa kau pernah melihat laut? "

" Pernah, aku bahkan sering pergi ke sana. Apa kau sudah melihat lukisan pantai buatan ku, Armin? "

" Iya, aku cukup terkejut karena kau menggambarnya dengan detail. Setelah kami berhasil mengalahkan Reiner, Bertholdt dan Annie. Danchou memberi kami misi ekspedisi untuk mengetahui apa yang sebenarnya berada di balik dinding. Kami semua melihat air asin yang begitu luas tanpa ujung, pasir-pasir halus yang terasa sedikit kasar. Itu semua sama persis dengan lukisan yang Hana-san buat "

" Apa kalian mau mengajakku ke sana lain kali? Aku ingin menghabiskan waktu bersama kalian semua di sana " pinta Hana, menatap tiap wajah para sahabat-sahabatnya.

" Pikirkan badanmu itu dulu sebelum berlibur, bocah. Lagipula, para kadet 104 selama beberapa hari kedepan harus menemui ratu Historia di Wall Sina " kedatangan Levi benar-benar mengacaukan suasana. Kalau saja tangan nya sedang tidak di peluk oleh Sasha, sudah di pastikan Hana akan melemparkan vas bunga kepada sosok Heichou di hadapannya.

Jean membisikan sesuatu pada Hana, cukup sukses membuat gadis itu tiba-tiba tertawa.

" Apa benar, kau sampai tak mau makan, tak mau keluar kamar dan tak mau bertemu dengan Erwin-san setelah pulang dari pemakaman ku. Heichou? "

" Kisama! Apa yang kau bilang padanya?! " Pria Ackerman itu langsung berucap sinis dan menatap Jean dengan tajam

" Bukankah Heichou terlihat seperti laki-laki yang habis putus cinta, saat itu? Bahkan karenanya, Hanji-san sampai menyeretnya keluar dari kamar " - Sasha

" Dia terlihat bodoh saat itu " - Mikasa

" Aku bahkan tak percaya jika Levi Heichou bisa sampai begitu, lho. " - Connie

" Semuanya, sudahlah " Kini tampaknya hanya Marco yang benar-benar sadar dengan situasi saat melihat aura ketua pasukan pengintai itu yang benar-benar gelap dan di kelilingi kabut amarah.

Eren langsung kabur di ikuti teman-temannya yang lain, sedangkan Levi hanya berdecih lalu duduk di samping Hana.

" Minum obatmu, lalu tidur "

" Kau benar-benar dingin sekali setelah aku kembali ke sini, padahal kau dulu paling bawel dan berisik saat aku masih tinggal bersama dokter Hendry "

Levi tak merespon, ia hanya memberikan beberapa butir obat dengan segelas air putih. Setelah meminumnya, Hana langsung merebahkan diri di atas kasur. Sang ketua tanpa banyak bicara menyelimuti tubuh kecil itu.

" Heichou... " Panggilan Hana membuat Levi yang hampir menyentuh pintu daun kamar kini berbalik menatapnya dengan salah satu alis yang terangkat.

" Arigatou " Hana mencoba tersenyum padanya, melupakan fakta bahwa kini Levi Ackerman adalah laki-laki yang tak akan pernah merespon ucapan terimakasih.

Tapi untuk kali ini berbeda, Hana bisa melihat sebuah anggukan kepala dengan senyuman tipis yang Levi berikan.

ISEKAI ( Another World )Where stories live. Discover now