16

538 62 3
                                    


( Hana Point of View )

Aku membuka mata setelah sebuah sinar muncul begitu terang, dalam perjalanan ku kembali ke dunia nyata. Sebuah monoscape roll film seolah di putar, semua hal yang ku lakukan selama berada di dunia Isekai. Mulai dari kejauhan yang bahagia ataupun sedih, aku merasakan banyak emosi yang selama ini terpendam selama aku hidup seakan-akan di sanalah aku bisa melepas semua ego yang terus bersembunyi.

Merasa terbaring di tempat yang begitu lembut, sekali lagi. Ku tatap ruangan ini.

" Kecelakaan itu, mobil.... Bagaimana bisa? "

Aku menyadari suatu hal jika aku selama ini hanya tertidur, sosok yang terlihat seperti Psycopath di malam itu hanyalah salah satu pemeran antagonis di dalam mimpiku. Aku paham sekarang, aku mengerti.

Saat itu aku terus berlari, aku menjauhi kenyataan yang seharusnya ku terima. Namun, rasa bersalah terus muncul menghantui ku dan ingin mengalahkan sisa kewarasan yang ku miliki. Sampai pada akhirnya aku berharap semua ini berakhir, dengan mati begitu saja. Aku baru menyadari jika ada banyak yang harus ku lakukan di duniaku selama ini, tapi itu sudah terlalu terlambat untuk kembali mengulanginya dari awal.

Di kirim ke dunia tak nyata, aku mencoba belajar dari semua kesalahan yang pernah di perbuat. Aku bukan orang yang mudah percaya kepada orang lain, itu realistis di saat aku masih menjadi manusia biasa. Tidak semua orang itu baik dan benar-benar bisa memahami ku, aku terus berprasangka buruk dengan berfikir bahwa semua orang di dunia Isekai itu tak ada bedanya dengan dunia ku.

Eren, Mikasa, Armin. Aku dapat melihat tekat dan keberanian mereka.

Christa, Jean, Marco. Ketiga orang itu penuh dengan rasa percaya diri dan keyakinan.

Sasha, Connie, Ymir. Dapat menikmati hidup dengan bebas dan bahagia.

Hanji, Erwin, Petra. Dapat menyesuaikan diri dalam segala kondisi dan situasi rumit.

Mike, Ed, Gunther. Punya pilihan dan tidak mudah terpengaruh akan hal lain.

Kalau saja aku bisa merubah diri menjadi sosok seperti mereka, aku mungkin bisa menerima semua ini dengan mudah.

Kalau saja aku tidak menjadi sosok Levi Ackerman di dunia nyata, kalau saja aku tak mempertahankan sifat keras kepala dan kebencian akan takdir tuhan. Aku mungkin bisa hidup dengan baik.

Drtt!

Ponsel di atas nakas berdering, sebuah panggilan dari rumah sakit langsung ku angkat dengan perasaan takut.

.
.
.
.
.

Aku hanya lah satu-satunya orang yang berlari di antara hilir mudik para perawat dan dokter yang sibuk bersama pasien-pasien mereka, air mata ini tak bisa ku bendung menuju sebuah kamar di lantai 19 nomor 12.

" Nii-san! " Aku membuka pintu, mencoba mencari sosok yang begitu ku cintai itu dengan nafas menggebu.

Tak ada siapapun di dalam sana, kasur itu terlihat sepi tanpa ada orang yang tidur di atasnya. Jantung ini terus memompa dengan definisi perasaan yang tak bisa ku ungkapkan.

" Tuan Albin saat pagi biasanya berada di rooftop gedung, anda bisa menemuinya di sana " seorang perawat memberi tau dengan senyuman kecilnya.

Aku berterima kasih padanya, mengikuti peta lokasi yang tertempel pada sisi tangga. Peluh membasahi keningku, euforia ini meletup-letup bagaikan petasan di musim semi.

 Peluh membasahi keningku, euforia ini meletup-letup bagaikan petasan di musim semi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Dia menatapku, dengan sebuah pesawat kertas di tangan kanannya.

" Hana, kemarilah... "

Ku peluk tubuh itu dengan erat, menangis dan meraung keras di dekapannya. Berterimakasih pada Tuhan karena memberikan ku kesempatan untuk melihatnya tetap hidup.

" Kenapa lama sekali, aku menunggumu " lirihku, menatap wajahnya yang menunjukkan raut sedih.

Jemari itu mengusap air mataku, wajah tenang yang sangat ku rindukan. Iris matanya menatapku lekat, tersenyum kecil dan sedikit tertawa.

" Maaf ya, sudah membuatmu menunggu "

.
.
.
.
.

    Setelah meletakan sebuah karangan bunga pada makam ibu dan ayah, aku memutuskan untuk pergi menemui nenek yang tinggal di Osaka. Albin Nii-san masih harus berada di rumah sakit karena menjalani beberapa terapi pemulihan, jadi dia tak bisa ikut. Lagipula, aku punya beberapa urusan yang harus di segera di selesaikan dengan cepat.

" Nenek! " Aku keluar dari mobil saat kendaraan itu telah sampai di pekarangan rumah seseorang yang ku sangat sayangi.

Ku peluk tubuh renta itu dengan hati-hati, nenek hanya bisa memberikan senyuman kecil sambil mengusak surai ku dengan gemas.

" Aku rindu sekali dengan nenek, sudah berapa lama yah aku tidak ke sini? 1 bulan atau 1 tahun? "

" 3 tahun, kau sudah tak ke sini selama itu. Nenek pikir, kau sudah tak mau mengunjungi lagi karena fokus dengan sekolah dan kakakmu itu " ucapnya meralat tebakanku.

Aku hanya bisa tertawa, ya. Salahku sih. Setelah kecelakaan pesawat yang menewaskan ibu juga ayah, membuat koma Albin Nii-san dan kasus bunuh diri Elikko. Aku memang benar-benar mengurung diri di kamar.

" Masuklah ke rumah dulu, kau pasti lelah dan lapar karena perjalanan dari Tokyo ke Osaka itu cukup jauh. Minta supir pribadi mu itu juga untuk beristirahat sebentar di sini, nenek akan membuatkan teh hangat "

" Ha'i "

.
.
.
.
.

Semua figura dengan photo masa kecilku banyak terpajang di setiap sudut dinding, potret saat aku bisa berjalan untuk pertama kalinya, ketika aku merayakan pertambahan usia yang ke 2 tahun, saat mendapat juara kelas dan bertamasya. Semua photo ini memiliki kenangannya tersendiri, saat-saat dimana aku tak perlu berfikir untuk belajar, di saat aku hanya bisa bermain sesuka hati.

" Apa, kakakmu itu masih menerbangkan pesawat kertas? " Nenek datang, duduk sampingku.

" Aku baru menemui Nii-san pagi tadi saat menerima telepon jika ia sudah sadar sejak seminggu lalu, saat ku temui. Albin Nii-san hanya mengatakan jika ia baru memperbolehkan pihak rumah sakit untuk menelepon ku saat telah menyelesaikan tugas untuk menerbangkan pesawat kertas nya yang ke 100. Apa nenek tau maksudnya? "

" Beberapa hari yang lalu, paman kalian datang ke sini dan mengatakan jika kondisi Albin sudah membaik. Nenek memberi pesan kepadanya agar Albin mencoba untuk melakukan kegiatan yang dapat menenangkan pikirannya sebab sudah terlalu lama terbaring di atas brangkar. Sama seperti kertas origami berbentuk angsa yang jika di buat sebanyak 1000 buah akan mengabulkan permintaan, pesawat kertas melambangkan kebebasan dan ucapan syukur. "

" Ternyata, hal-hal semacam itu ada juga ya? " Gumamku nyaris tak bersuara, nenek hanya tertawa kecil.

Aku dan nenek bercerita banyak hal selama 3 tahun tak bertemu, semua kejadian baik dan buruk yang ku alami. Rasanya seperti membuka lembaran luka rusak, mengoyak sebagai ingatan yang ingin ku kubur dalam-dalam. Namun, nenek menggenggam kedua telapak tangan ini sejak aku memulai untuk bercerita. Ku rasakan ketenangan di sana, sampai kepada satu tema utama yang ingin ku tanyakan sejak awal kedatangan ke rumah itu.

" Nenek mendapatkan kalung ini dari nenek buyut kan? Aku hanya sedikit penasaran "

" Kalung Ruby itu sudah di wariskan sejak lama sekali, tapi sedikit kisah yang nenek tau. Ada seorang lelaki yang sangat ahli dalam bertarung, ia memberikan sebuah kalung sebagai hadiah untuk istrinya, namun setelah sang suami meninggal. Istrinya memberikan kalung itu secara turun temurun sampai kini berada di tanganmu "

" Aku dan Albin Nii-san mengunakan marga ayah yang berasal dari Amerika, yaitu Rubynson. Aku tak pernah tau apa marga keluarga ibu, apa nenek bisa memberi tahuku? "

" Ackerman " jawaban yang nenek berikan seketika membuatku tersentak, pikiranku langsung menerawang kepada sosok Levi yang berada di dunia Isekai.

Berarti, secara tak langsung. Aku masih satu darah dengannya, bukan?

Ucapan cinta di sore itu, aku tau jawabannya. Kami, tak bisa bersama. Seperti dimensi ku dan dimensinya yang berbeda, se mustashil itulah hubungan kami.

ISEKAI ( Another World )Where stories live. Discover now