19

516 62 0
                                    

( Reader Point of View )

           Hana melangkahkan kakinya lemas keluar dari area sekolah, kepalanya terasa sakit semenjak salah satu guru gemuk berkacamata tebal memberikan beberapa materi tambahan sampai-sampai dirinya baru bisa bernafas lega di pukul 7 malam.

Ya, itu memang wajar bagi anak kelas 3 sekolah menengah atas. Mereka harus mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi negeri, bahkan di bandingkan Hana. Teman-teman nya lebih terlihat seperti para budak kunci jawaban dari buku-buku tebal ujian nasional, mengerjakan soal-soal latihan tapi di bandingkan berfikir untuk kritis dengan mengingat materi sebelumnya mereka justru lebih suka cara simpel dan cepat juga tepat. Melihat bagian paling belakang dan menyalinnya.

Albin sudah meneleponnya berulang kali sejak sore, mengomel karena adiknya itu terlalu larut untuk pulang ke rumah. Hana hanya memberi jawaban dengan memotret gurunya diam-diam saat tengah membalik badan menghadap papan tulis.

" Ah, punggungku benar-benar sakit... " keluhnya sambil melakukan gerakan peregangan.

Ia memilih untuk berjalan kaki menuju mansion, lagipula sembari mengenang masa-masa dulu. Saat dirinya dan Elikko pulang tanpa supir sambil menceritakan banyak hal sepanjang perjalanan.

' Menurutmu, lebih tampan Levi atau Eren? Tapi aku juga menyukai Jean dan tertarik kepada Connie '

' Dasar maruk! Kau tanpa sadar memilih mereka semua tanpa harus membandingkan siapa yang tampan '

' Ku akui, Hajime memang sangat keren menciptakan para karakter itu. Andai saja mereka semua nyata, aku ingin menikahinya '

' Kerjaan mu itu hanya berandai-andai '

' Daripada kau, rebahan terus! '

' Aku bermalas-malasan juga tetap bisa mengerjakan ujian, untuk apa belajar? '

' Sombong sekali, setidaknya hargailah temanmu yang tidak cerdas di mata pelajaran '

' Memangnya aku punya teman yang bodoh ya? Sepertinya tidak tuh, dia hanya kurang pintar saja '

Setelah perbincangan itu, Elliko biasanya akan mengejar Hana yang sudah berlari untuk menyelamatkan diri. Tertawa riang di saat bulan mulai terbenam dengan garis oranye luas membentang di langit biru.

Bintang jatuh! Batin Hana terkejut saat menyadari jika banyak sinar berkilau yang melesat di angkasa, keindahan ini bertambah saat awan-awan menghilang tertiup angin membuat bintang-bintang kecil tampak terlihat seperti butiran gula.

Kedua telapak tangannya saling mengait, memejamkan mata dan tersenyum kecil.

" Semoga semua orang yang ku cintai selalu hidup dalam keadaan baik-baik saja, semoga aku punya kesempatan untuk bertemu dengan mereka untuk yang terakhir kalinya dan mengucapkan salam perpisahan "

.
.
.
.
.

      Hawa sangat yang sedikit hangat membangunkan nya, deburan ombak yang saling bersahut-sahutan membentuk tepian karang dan mendorong pasir lalu kembali menariknya.

Pemuda Ackerman itu membuka matanya yang terasa begitu lelah untuk terjaga, ia cukup terkejut saat menyadari bahwa pantai di bagian utara Paradis adalah lokasinya kini. Entah sejak kapan dirinya berada di sana, yang jelas. Seakan ada bisikan lembut terdengar memanggilnya.

Bibirnya terkatup rapat, mata tajamnya mencari sumber suara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bibirnya terkatup rapat, mata tajamnya mencari sumber suara. Tampak, sebuah sinar indah yang berkilau jauh di tengah laut sana.

" Apa kau merindukanku? "

" Kau, Hana? "

" Tentu saja, memangnya siapa lagi "

" Ck!Bagaimana bisa aku percaya begitu saja pada sebuah suara tanpa wujud manusia, apa kau benar-benar berada di sini? "

" Kau masih sama menyebalkan nya seperti saat sebelum aku kembali, ngomong-ngomong apa kau sudah menikah seperti yang lain? "

" Kau ini bertanya atau mau meledek ku? "

" Hehe, aku cuma bercanda. "

" Aku merindukanmu, tak bisakah kau kembali menemui ku? Setidaknya, berikanlah sebuah jawaban padaku "

Keheningan terjadi, cahaya itu perlahan mulai meredup dan hilang. Levi hanya bisa terdiam di posisinya, tampak tangan itu merogoh sesuatu di balik jubah dan berucap kecil.

" Setidaknya, jika kau sudah memutuskan hubungan ini. Aku bisa memberikan kalung ibu kepada orang yang tepat nantinya "

.
.
.
.
.

    Nafasnya memburu seiring dengan kesadarannya yang telah kembali, Hana segera bangun dari tidurnya dengan bayang-bayang suara Levi yang bicara padanya.

Gadis itu tanpa pikir panjang langsung berlari menuju kamar kakaknya yang berada di lantai atas, tak mengetuk atau tak memberi salam. Tak peduli apakah tindakan nya bisa di katakan tidak sopan, kini ia hanya ingin melihat kakaknya.

" Masuk ke kamar dan mendorongnya sampai-sampai mengenai tembok. Apa jiwa Levi masih ada di dalam tubuhmu? "

Pletak!

" Kau ini kenapa sih?! " Albin mengelus kening kepalanya yang memerah, Hana hanya mendecak sambil menatap kakaknya tajam.

" Kau tak melakukan hal aneh kan? "

" Apa maksudmu? "

" Aku melihat sebuah cahaya yang terang di langit dan suaranya mirip sekali dengan Levi, kami berbicara singkat sebelum pada akhirnya cahaya itu menghilang tertutupi awan. Terakhir kali kau bilang, jika aku bisa menemuinya kalau kau koma atau meninggal kan? Kau pasti melukai dirimu sendiri supaya aku tetap bisa terhubung dengan dunia Isekai itu "

" Sejak tadi yang ku lakukan hanyalah bermain ponsel, menscroll YouTube sambil melihat video anak kucing. Lalu, apakah itu bisa di katakan mengancam jiwaku? "

Hana terdiam, itu artinya. Kemungkinan gadis itu bisa bicara dengan Levi tanpa harus melibatkan Albin walaupun itu hanya berupa suara tanpa wujud.

" Apa saja yang kau bicarakan padanya? " Kini, Albin meletakan ponsel itu di atas kasurnya. Mencoba menjadi pendengar yang baik.

" Aku hanya menyapa dan sedikit berbasa basi, tapi ketika dia membicarakan sesuatu justru aku tak bisa mendengar suara apapun lagi "

" Bicara apa? "

" Mengenai jawaban yang belum ku berikan padanya, aku ingin menolaknya karena aku sadar jika kami tak akan pernah lagi bisa bertemu. Aku hanya tak mau mengikatnya dengan rasa cintanya yang ku terima "

" Aku mengerti "

" Maksudnya? Apa? " Tanya Hana, duduk di sisi kasur kakaknya.

" Kau ingin menjawab pertanyaan nya dan cahaya itu malah menghilang, setelah itu koneksi antara kalian berakhir. Ini masih asumsi ku, tapi kau tak bisa menolaknya "

" Tapi kenapa? Apa karena aku memang sudah di takdir kan untuk hidup bersamanya? "

" Hm, begitulah " jawaban yang kakaknya berikan malah membuat Hana jadi merana sendiri, tak mengerti dan paham kenapa bisa-bisanya ia malah terjebak di situasi nan rumit.

Kembali pada catatan Albin yang sudah Hana baca sebelumnya, klan Ackerman tak akan bisa berlanjut jika ia tak menikah dengan Levi. Namun, dalam arti yang lain. Gadis itu harus mengorbankan kakaknya untuk bisa bertemu dengan sang masa depan.

" Aku hanya mau jadi manusia yang normal saja, apa itu berlebihan untukku? " Ucap bungsu Rubynson itu dan menunduk.

Kata-kata yang penuh akan sarkasme dan putus asa terhadap hidup, Albin tak bisa membayangkan berada di posisi Hana kalau pria itu merasakan hal yang serupa.

Sejak awal, ini adalah kesalahannya.

ISEKAI ( Another World )Where stories live. Discover now