"Tu Me Manques..."

480 27 5
                                    

Cabane Restaurant, Paris. April 2022


Ini entah kedatanganku yang ke-berapa di Negara ini. Namun enggak seperti sebelumnya, kali ini aku benar-benar datang sebagai seorang Turis, walau tetap enggak seperti Turis pada umumnya, yang datang demi berplesir ria, dengan sengaja mengoleksi kenangan berupa photo atau menikmati makanan khas setempat.

"La boisson, Monsieur, s'il vous plaît." Seorang Pramuniaga meletakkan secangkir Americano hangat tepat di hadapanku yang tengah menunggu seseorang. 

"Merci." 

Sebuah dering ponsel menginterupsi kegiatanku memandangi orang-orang berlalu lalang dari balik jendela Restoran, walau jendela tersebut terletak sangat jauh dari mejaku saat ini. Untungnya, aku mengunjungi sebuah tempat makan siang yang sepi Pengunjung karena letaknya agak ke dalam kalau dibandingkan dengan jalan utama di La Défense. Indra menghubungiku persis ketika aku sedang membaca kembali balasan pesan terakhirnya untukku sekilas.

'Di mana, Mas?'

Aku mendongakkan kepalaku bersamaan dengan suara Indra yang ku dengar di dalam sambungan kami, sekaligus yang sayup-sayup terdengar berasal dari pintu Restoran yang terbuka. Aku melambaikan sebelah tanganku, berharap Indra melihat keberadaanku yang memang agak menyudut pada salah satu pojok Restoran.

Seperti yang Indra beritahukan di dalam pesannya, dia akan datang menemuiku bersama dengan seorang teman. Sempat terbersit sebuah prasangka kalau Indra akan membawa serta Lingga siang ini dan melupakan janjinya kepadaku.

Iya.
Aku masih takut.

Iya.
Aku masih belum mengerti bagaimana caranya menghadapi Lingga secara langsung, setelah bertahun-tahun lamanya perpisahan kami.

Iya.
Aku masih seorang Pengecut seperti selama ini.

Tetapi dengan keadaanku saat ini, ketika aku memang harus menghadapi Lingga, akan ku pastikan bukan karena Lingga terpaksa untuk menemuiku, melainkan karena rindu yang kami miliki sudah sama-sama menyesakkan.

Seenggaknya aku harus memastikan terlebih dahulu kalau tubuhku enggak perlu kumat yang mana dapat disebabkan oleh segala sesuatunya yang bisa sewaktu-waktu terjadi. Entah Lingga belum mau menerima kehadiranku lagi, atau yang paling parah memang sudah enggak mau.

Aku memang terbiasa melihat segala sesuatunya dimulai dari yang terburuk, entah bagaimana orang lain menyikapinya, tetapi untuk diriku yang sekarang rasanya jauh lebih baik untuk memutuskan berpikir demikian semenjak memang sudah enggak ada siapa pun lagi yang menemaniku. Enggak juga Lintang, tentu saja karena dia sudah menjadi Pemilik satu-satunya Adhiwangsa yang luar biasa sibuk.

"Mas, kenalin, ini Seiya. Mahasiswa Indo yang belajar di sini." 

Indra membuatku berjabat tangan dengan seorang gadis berambut panjang sepunggung bernama Seiya. Ku tebak usianya sangat jauh di bawahku kalau melihat tampilannya yang masih sangat muda. 

"Halo, Seiya." Sapaku kepadanya dengan ramah.

"Halo, Mas." Gadis bernama Seiya itu menganggukkan kepalanya sopan.

Aku belum mengetahui bagaimana hidup Lingga di sini. Dia bekerja di mana, melakukan apa, kesibukannya seperti apa, maka dari itu aku enggak bisa menduga apa pun termasuk, apakah Seiya juga mengenal Lingga atau malah sebaliknya?

Demi Tuhan, mulutku sudah enggak tahan untuk bertanya.

Apakah Lingga sehat?

Apakah makannya teratur?

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang