Indebtedness

133 22 9
                                    

Minggu kedua pada bulan Juni. Jadwal terapinya selalu bermula pada hari tersebut. 

Hari Senin, setelah penghujung minggu kembali dihabiskannya seperti sebelum Lingga memutuskan pulang.

Tidak perlu dibayangkan betapa kecewanya Aji atas dirinya sendiri setelah berulang kali tersadar bahwa tindakannya tidak terlalu menghasilkan sesuatu yang memuaskan selain teman bergadang, teman sarapan, teman tidur siang bersama, masih sama saja seperti ketika mereka remaja. Jalan di tempat, istilahnya. 

Ternyata dengan rutin mengunjungi Lingga tidak akan membawa hubungan mereka ke mana pun.

Oh, Aji benar-benar merasa perlu cepat bertindak, padahal bukan itu alasannya.

Ia hanya takut Lingga merasa ia kelewat puas dengan interaksi mereka yang masih sekadarnya, namun di sisi lain ia juga enggan disebut sebagai seorang Pengganggu. Salah satu alasan maka ia belum berani menghubungi Lingga walau sekedar untuk bertanya kabar, padahal Indra sudah memberitahu nomor seluler Lingga yang baru tanpa diminta.

Bertukar kabar adalah kegiatan yang dapat dilakukan oleh ABG sekali pun, Aji paham. Namun hubungan mereka saat ini tidak sesederhana itu.

Ia butuh bertemu.

Ia butuh merasakan kehadiran Lingga di dekatnya seperti dulu.

Ia butuh Lingga tetap berada di sisinya sepanjang waktu jika perlu.

Aji menghembuskan nafasnya resah. 

Dahulu bahkan ia tidak perlu mencari. Lingga selalu berada di dekatnya mulai dari ia pergi tidur, terbangun keesokan paginya, lalu kembali tertidur.

Pemikirannya ini kemudian membuatnya menelaah bagaimana perasaan Lingga yang sebenarnya ketika menghadapi jadwal terbangnya yang menghabiskan waktu berbulan-bulan, dan tidak perlu ditanya bagaimana jika dilihat dari sisinya sendiri.

Kepalanya tertoleh ketika Aji mendengar sebuah suara rengekan Bocah yang tak jauh dari meja Lobby Rumah Sakit. Berteriak bosan, menolak bertemu dengan Dokter-nya, dan entah apalagi. Sebanyak itu yang mampu ia dengar, kedua matanya malah tertambat pada sebuah mainan berbentuk Airbus yang sedang digenggam erat-erat seolah hanya mainan tersebut lah yang mampu menyelamatkannya dari janji temu dengan Dokter siang itu.

Kedua mata Aji menyendu sebelum akhirnya sedikit buram. Kepalanya mengingat-ingat, apakah ia memiliki sebuah mainan yang mengarah pada cita-citanya kala ia masih seusia Bocah tersebut?

Tidak. 

Ia bahkan sudah menahan dirinya untuk tidak meminta dan menerima saja segala macam yang orang tuanya berikan dengan alasan rasional barometer orang dewasa, sejak usianya masih menginjak Sekolah Dasar, atau bahkan mungkin jauh sebelum itu?

Akibatnya, ketika ia akhirnya berhasil memperoleh sesuatu yang sesuai dengan keinginannya, akan selalu ia jaga dengan begitu posesif. Ia puja. Ia perlakukan selayak barang pecah belah termewah yang pernah dibeli oleh Ibunya. 

Hingga suatu saat, Dyo akan datang, meng-klaim bahwa itu seharusnya menjadi miliknya dan bukan Aji.

Aji menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Berusaha melenyapkan kenangan yang tak sepatutnya disebut dengan kenangan, karena jelas bukan kenangan seperti itu yang ingin diingatnya kembali.

Ia kembali menoleh. Kali ini kedua matanya tertuju pada wajah memerah sembab karena sudah kelelahan menangis.

Isakan kecil menyakitkan karena tidak ada yang mau mendengar.

Suara serak terbatuk-batuk menandakan bahwa setelah ini ia akan memilih pasrah, dan bertekad tidak akan mau untuk kembali lagi ke sini, entah akan bagaimana kedua orang tuanya membujuk.

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Where stories live. Discover now