Veracity

166 21 20
                                    

Lingga melangkahkan kedua kakinya dengan kecepatan rata-rata. Ia tidak mengendarai kendaraannya lagi kali ini. Bukan karena tidak ingin merepotkan diri di dalam ramainya jalanan Ibu Kota, ia hanya ingin mengambil waktunya sebentar untuk berpikir. 

Berpikir apakah keputusannya untuk bertemu dengan Dokter Prawira adalah jalan terbaik untuknya dan Aji, dan menaiki kendaraan umum menjadi caranya.

Isi kepalanya masih mengingat-ingat kebohongannya pagi ini. Satu kesalahan yang dengan sengaja ia buat kepada Aji, entah mengapa ia tidak begitu menginginkan laki-laki itu untuk tahu ke mana tujuannya yang sebenarnya.

Begitu pun Indra. Asistennya itu hanya senantiasa tahu bahwa ia masih menghangatkan tubuhnya di bawah selimut mengingat hujan kembali turun sejak semalam.

Beberapa menit kemudian, Lingga sudah tiba di hadapan sebuah meja cukup mewah untuk ukuran sebuah meja front office, dengan kemudian ia ditanyai tentang tujuannya ke sana.

"Lingga Nareswara." Lingga hanya perlu menyebut namanya saja, rasanya, semenjak ia memang sudah membuat janji temu bersama Beliau dua hari yang lalu, tidak lama setelah mereka bertemu secara tidak sengaja.

Pada awalnya Lingga mengira ia akan diminta datang ke Rumah Sakit Damaris, sebelum akhirnya ia mengetahui bahwa Dokter Prawira sudah membuka sebuah kantor Praktik sejak satu bulan yang lalu, maka tak heran jika tampaknya Beliau cukup senggang ke sana dan ke mari, melayani visit rumah, atau mungkin sebuah tempat yang Beliau anggap tepat untuk jalannya sesi dengan para Pasien-nya, seperti Aji ketika sore kapan lalu.

Lingga membuka pakaian hangatnya, dan menyampirkannya di atas sebelah lengan, hingga kemeja putih dengan garis salur tipis berwarna abu-abu, yang dipadupadannya dengan celana formal berwarna hitam, juga sepasang sepatu formal yang menjadi penampilannya pagi ini terlihat lebih santai jika dilihat dari sudut mana pun.

"Halo, Lingga...!"

Tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk Lingga menunggu, Dokter Prawira akhirnya hadir di hadapannya, tentu saja dengan wajah ramah berkharisma yang sudah menjadi ciri khas Dokter mana pun.

"Jalanan ramai?" Beliau beranjak ke arah salah satu sudut ruangan, di mana terletak sebuah meja, susunan cangkir berwarna putih beserta sendok silver pengaduknya, dan sebuah mesin pembuat kopi, sambil kedua tangannya menyeduh minuman, yang mungkin akan disuguhkan untuk mendampingi sesi mereka pada pagi menjelang siang hari ini.

Lingga tersenyum seadanya, tiba-tiba saja ia tidak begitu paham harus menjawab seperti apa. "Aku berangkat naik kendaraan umum tadi, jadi enggak begitu tau apakah ramai atau enggak." 

Dokter Prawira mendudukkan tubuhnya di sisi yang berlawanan dari Lingga. Dengan sebuah meja rendah yang berada di antara mereka, di atas meja tersebut lah Beliau menaruh dua buah cangkir yang berisikan teh hangat.

"Mas Aji prefer teh hangat, jadi saya buatkan teh hangat juga untuk kamu."  Beliau kembali membuka obrolan. Melontarkan beberapa kalimat yang mengandung arti sama yaitu demi merendahnya atmosfer menegangkan di sekitar mereka walau guyonannya terdengar sia-sia. "Sempat hujan waktu saya berangkat ke sini tadi." 

Hal pertama akan sama saja bagi Beliau. Entah siapa pun, akan merasa ragu untuk terbuka. Mungkin juga merasa menyesal karena telah membuat janji temu bersamanya.

Tak kenal maka tak sayang.

Peribahasa lawas yang membuatnya lalu tidak bosan untuk kembali bertanya. Mungkin akan terdengar seperti basa-basi, namun tentu bukan yang seperti itu yang diharapkan Beliau untuk menanggung profesinya selama ini.

Setelah dirasa cukup, Beliau mencoba mengalirkan obrolan mereka agar tak terkesan buru-buru. Ia menginginkan Lingga untuk membuka dirinya secara perlahan.

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Where stories live. Discover now