Bring the Old Us Back

156 22 9
                                    

Kling. Kling. Kling.

Suara ujung sendok yang berbenturan dengan dinding gelas terdengar menyenandungkan cuaca pagi itu dengan damai.

Dua buah gelas keramik yang telah diisi teh manis panas hampir kelat, dengan tidak jauh darinya terletak sepiring beberapa tangkub roti. Jangan berharap terlalu banyak kepada Aji karena makan siang dan malamnya saja masih harus bergantung dengan layanan online, kecuali Dea mau berbaik hati mengirimi mereka bahkan untuk beberapa hari ke depan. Itu pun sudah tidak lagi sering mengingat hari perkiraan lahirnya sudah semakin dekat.

Suasana pagi itu masih tenteram.

Lingga dan Paris masih menggelung tubuh mereka di bawah selimut, dan mungkin tidak akan terganggu hingga setengah jam ke depan, karena Lingga memutuskan untuk mengganti hari liburnya yang kurang dengan hari ini. Begitu katanya semalam.

Jadi Aji memiliki waktu lebih untuk mereka.

Ia melongokkan kepalanya ke luar jendela, mencoba membuat prakiraan cuaca akan bagaimana jatuhnya hingga sore nanti.

Lupakan sejenak jadwal terapinya, semenjak Dokter Prawira mengambil hak cuti dari Damaris, entah berapa lama, pun Aji memilih untuk menunggu hingga Beliau menghubunginya terlebih dahulu.

Kompleksinya sudah sangat membaik, diiringi suasana hati dan perasaannya yang lapang, walau tampaknya ia belum akan mengendurkan dosis obat yang telah ditetapkan Dokter Prawira terakhir kali.

Ia akan baik-baik saja.

Pasti begitu.

"Mas Aji..."

Sapaan yang seperti ini lah yang dinantinya bahkan sempat hampir mati.

Halusinasi bahkan senantiasa menjadi sarapan paginya kala itu, yang kemudian dihabiskannya dengan menangis hingga kelelahan. Namun kini rasanya sudah tertebus dengan segala macam kesakitannya yang ikhlas.

"Hey..." Aji sedang mendudukkan tubuhnya pada salah satu sudut sofa sambil membuka-buka sebuah koran pagi yang rutin diperolehnya setiap hari, tidak jauh-jauh dari waktu Subuh. Kebiasaan Ayahnya yang satu itu benar-benar menurun secara alami, bukan seperti Lintang yang harus membiasakannya terlebih dahulu karena ini merupakan perihal penting bagi siapa pun Penguasa tanah air.

Lingga mendekat ke arahnya dengan masih mengenakan pakaian tidur yang awut-awutan dan rambut yang berantakan. Lalu Lingga menumpukan salah satu permukaan lututnya terlebih dahulu pada bagian sofa yang berlawanan arah, disusul yang satu lagi, merangkak perlahan dengan gestur menggemaskan, meraba-raba permukaan sofa karena kedua matanya masih senantiasa tertutup mengantuk, hingga akhirnya mendaratkan tubuhnya di tengah-tengah tubuh Aji yang memang sedang berselonjor santai menikmati pagi.

Usia keduanya bahkan sudah bukan hanya dewasa, namun tingkah mereka seperti mundur beberapa tahun ke belakang.

Seolah menggantikan masa yang mereka lalui tanpa kehadiran satu sama lain.

Mengulang banyak hal yang dengan sengaja mereka lewatkan.

Komunikasi, berbagai macam lelucon garing nan lawas, hal-hal bodoh menggelikan, dan masih banyak lagi.

Lingga membetulkan letak kepalanya di atas dada Aji. Tujuannya untuk segera memulai aktivitas mereka sejak pagi rasanya sungguh mustahil, karena lagi-lagi kedua matanya terasa sangat berat hingga ingin rasanya ia kembali tertidur.

Berkunjung kembali ke Rumah Besar, mungkin? Atau sekedar menjenguk Dea, karena kabarnya kelahiran anak mereka akan segera tiba. Lingga ingin membantu sedikit, karena ia yakin sekali bahwa kedua orang itu sedikit banyak tengah kerepotan menyiapkan segala sesuatunya, alangkah baiknya jikalau tersedia tenaga tambahan darinya dan Aji.

Glimpse of Heaven : Finale - Koo Junhoe & Kim Jiwon [END]Where stories live. Discover now