04. Es batu

6 8 1
                                    

Raka duduk disamping gue pake tatapan dinginnya itu. Nusuk banget sih tatapannya. Dia cuma main handphone waktu abis anterin gue ke UKS. Kesel sih, orang lagi trauma malah ditinggal asik sendiri. Tapi , wajar sih, cowok dingin emang cuek banget.

Gue liat muka Raka sekilas. Ada bekas luka disudut bibir sama pelipisnya. Karena gue pingin balas budi, akhirnya gue memutuskan buat obatin luka Raka.

"Mau kemana?" tanya Raka ketus waktu gue bangun dari kasur UKS.

"Mau ambil sesuatu." Gue nggak peduliin Raka yang natap heran ke gue, gue terus jalan aja.

"Seharusnya yang tidur disini itu, lo. Lo yang punya luka fisik." kata gue sambil ngobatin luka Raka, tepatnya dibagian sudut bibirnya.

Raka cuma diam, kayak nyesuain diri gitu. Dengan diamnya Raka, sebenarnya jantung gue berdetak kencang banget. Tapi, gue berusaha buat tetap bersikap biasa. Dikit aja keliatan aneh, gue bakal malu kalau ketauan lagi salting.

Mendadak Raka pegang pergelangan tangan gue yang lagi ngobatin dia. "Lo mesum, ya?" tanyanya spontan.

Gue berhenti. "Emm? Enggak." jawab gue singkat. Terus, gue lanjut ngobatin Raka, nggak terlalu mikir kata-kata Raka tadi.

"Lo nggak usah berpikir aneh-aneh, gue serius bantuin lo sebagai ucapan terima kasih. Lo selalu bantuin gue pas ada Gilang. Makasih, ya." kata gue pas udah selesai.

"Ucapan terima kasih aja nggak bisa buat balas kebaikan gue."

"Terus? Gue harus gimana?"

"Karena bang David nyuruh gue buat jagain lo, jadi lo harus nurut. Lo harus pulang bareng gue, dan lo juga harus laporan sama gue kalau mau kemana-mana."

"Wait... Lo disuruh bang David? Serius? Bukan lo yang bikin aturan itu? Terus terang aja, gue nggak bisa kalau harus laporan sama lo kalau mau kemana-mana. Itu 'kan privasi gue. Toh, gue juga main sama Nindi, bukan sama cowok yang nggak baik." sanggah gue nggak terima.

"Nggak usah banyak protes. Gue nggak suka lo nolak." ujar Raka yang kemudian bangkit dari duduknya.

"Mau kemana?"

"Lo kira gue mau terus-terusan disini? Gue itu pelajar, ya, gue mau balik ke kelas lah. Be*go banget sih lo." ketus Raka.

"Lo nggak mau bantu gue?"

"Lo nggak sakit, ngapain dibantu?" Raka pergi dari hadapan gue.

Gue masih bengong disitu. Bingung banget mau ngapain sekarang. Gue liat pintu UKS udah ditutup sama Raka, dan tiba-tiba ada dorongan gue buat ngikutin dia.

"Lo ngapain ngikutin gue?" Tanpa balik badan, Raka sadar kalau gue ikutin dia.

Gue mikir dulu sebelum jawab, biar nggak terlalu keliatan kalau gue takut. "Lo bilang, lo disuruh bang David buat jagain gue. Itu artinya, lo harus anterin gue sampai ke kelas gue."

Raka balik badan dan tatap gue intens. "Kelas lo sama kelas gue jaraknya jauh, gue juga bakal bolak-balik kalau nganter lo. Nggak, gue nggak mau putar balik."

"Dih, kok gitu? Lo itu anak buahnya abang gue, jadi lo nggak boleh seenaknya sama gue."

"Dasarnya? Lo nggak ada hubungannya sama gue." Raka lanjut jalan. Dia nggak mau berhenti walaupun gue ngomel sampai didepan kelas dia.

Raka balik badan lagi. "Kelas lo?" tanya dia sambil ngarahin telunjuknya ke tulisan diatas pintu. Ternyata ini kelas XII.

Gue cuma bisa geleng-geleng, gue kira dia bakalan peka gitu nganter gue. Disitu pas banget bel masuk bunyi, gue makin panik. Gue cuma nunduk, nggak sampai nangis, gue nggak mau keliatan lemah dihadapan cowok.

Tiba-tiba lengan seragam gue ditarik. Gue langsung dongak, ternyata yang geret gue si kulkas. Gue bingung, kok gue malah masuk ke kelas dia? Woilah, dia ini kakel gue, gue takut sama muka-muka anak kelas ini, judes-judes banget.

"Pake." Raka kasih gue jaket yang dia pake. Gue langsung nolak, rasanya aneh gitu kalau pake pakaian yang abis dipake cowok. Kayak masih ada bekas-bekas apa gitu.

"Ngeyel." Gue akhirnya kalah. Raka udah duluan pakein jaketnya ke gue.

"Inget, lo pake identitas kelas lo." Oh iya, gue lupa. Baju gue masih kelas XI.

Sebenernya gue ini bukan anak pendiem, tapi pas dikelas XII, gue bener-bener diem nggak berani ngomong apa-apa. Banyak juga yang udah kenal gue, takut sih kalau dilaporin. Tapi, selama pelajaran nggak ada yang lapor, mungkin karena gue sama Raka. Syukur deh.

"Balik ke kelas lo."

"Hah? Oh iya. Makasih."

Gue sempat cenga-cengo sebelum lari ke kelas. Diperjalanan juga gue ngerasa kayak orang ilang, nyasar terus.

"Kemana neng?"

"Mau dianterin nggak?"

Sial! Gue lewat lorong yang salah. Bodoh banget sih malah lewat tongkrongan anak kelas sebelah. Bukannya nggak level, tapi gue males sama mereka yang kegatelan.

Lagi-lagi gue dicegat. Tapi, nggak lama ada yang narik gue keluar. Oh, ternyata si kulkas lagi. Ada rasa bosen, ada juga rasa pingin dibantu, apa gue ketergantungan sama dia? Nggak mungkin.

Bukan Raka namanya kalau nggak cuek, diposisi gue yang belum jauh dari mereka, Raka udah lebih dulu pergi. Mau nggak mau, gue lari ke kelas. Ternyata gue muter-muter, pantes capeknya pake banget. Tapi syukur deh bisa selamat sampai ke kelas.

"Lo nggak apa-apa 'kan? Ada yang luka?" Bukan sekedar nanya, Nindi ngecek kondisi fisik gue dari atas sampai bawah. Risih juga sih sebenernya.

Gue tepis tangan Nindi. "Gue baik-baik aja." Gue jalan ke tempat duduk gue disusul Nindi yang terus nanya.

"Tadi ada tugas?" tanya gue, sengaja motong pertanyaan Nindi yang panjang banget.

"Nggak ada, jam kosong daritadi."

"By the way, tadi kok lo bisa lolos? Pasti Raka lagi, ya?"

Gue ngangguk. "Walaupun Raka suka bantuin gue, tapi tetep aja gue benci banget ke dia."

"Kenapa?"

"Tadi, Raka seenaknya aja masukin gue ke kelas dia. Ya lo tau lah disana isinya cewek-cewek yang gimana. Mungkin kalau Raka pergi, gue udah habis disana."

"Serius? Wah, si Raka emang nggak peka. Padahal dia udah tau lho kalau cewek-cewek kelas kita sama cewek-cewek kelas dia itu musuhan."

"Makanya itu, gue kesel banget sama tuh anak."

"Jangan terlalu benci, ntar lo bisa jatuh cinta lho."

"Apaan? Jatuh cinta sama es batu? Ogah banget. Mending gue sama kepala sekolah, udah jelas jabatannya tinggi."

"Waras dikit, Ca. Kepala sekolah kita udah bau tanah, lo mau gitu jadi janda muda?"

"Nggak masalah, warisannya banyak. Toh, lo juga sama-sama nggak waras. Lo suka sama pak Satria, guru lo sendiri."

"Yang penting pak Satria lebih baik dari mantan-mantan gue."

Gue tarik napas panjang dan buang dalam satu hembusan. Emang susah ngomong sama anak pertama, keras kepala.

"Ca!" seru seseorang yang gue yakin itu cowok. "Tupperware lo." Bener aja, itu Raka. Ngeselin sih main lempar-lempar tupperware gue, untung pas gue tangkap.

"Bangsul! Untung nggak pecah!" Sedikit omelan dari gue. Sebenernya sama aja kayak gue ngomong sama angin, Raka udah ngacir duluan.

"Gue liat-liat sekarang lo deket sama Raka. Apa mungkin Raka yang bakal buka hati lo?" tanya Nindi yang sedikit becanda, ditambah ada bumbu-bumbu perdebatan.

"Raka? Makhluk si paling beku itu nggak bakal bisa bikin gue jatuh cinta walaupun dia baik ke gue." sanggah gue tegas.

"Nggak usah menutup kemungkinan, awas nelen ludah sendiri." ejek Nindi penuh kemenangan.

Waktu denger kata-kata Nindi, gue semakin kuat bikin benteng pertahanan biar nggak jatuh cinta ke Raka. Siapa yang mau nelen ludah sendiri? Iyyuuh. Gue bakal usahain juga biar nggak terlalu deket sama Raka, walaupun itu mungkin jadi larangan bang David.

<<<<>>>>

Nona Ista [ON GOING]Where stories live. Discover now