09. Mama diculik?

2 4 0
                                    

Pagi itu, waktu bangun tidur, gue langsung lari nyari cermin. Kayaknya mata gue sembab. Semaleman gue nangis, jadi pedes pas bangun. Gue emang lemah kalo urusan inget papa.

"Duh, merah lagi. Gimana kalo mama nanya? Mending mama, lah Raka?" Gue panik dan cepet-cepet mandi karena ternyata udah siang. Gue takut telat.

"Ma.." Panggil gue sambil turun dari tangga. Udah berkali-kali gue panggil, tapi mama nggak nyaut. Padahal udah jam segini, ya kali mama belum bangun.

"Mama kemana ya?"

Gue nggak sengaja liat secarik kertas dimeja makan. Ternyata itu tulisan mama. Beliau ternyata lagi pergi ke rumah sakit, nemenin tante Wanda. Gue buka tudung saji, udah tersaji beberapa makanan. Walaupun gue hidup dikota, tapi gue nggak kenyang kalo cuma sarapan roti. Udah terbiasa makan nasi.

"Lama." Mendadak suara cowok nyapa telinga gue. Gue noleh dan liat Raka yang baru keluar dari toilet. Loh? Berasa rumah sendiri aja.

Raka jalan ke arah gue dan nggak lupa sikap nggak sopannya. Raka lempar dasi ke muka gue. "Pakein."

"Nggak bisa, gue harus sarapan. Toh, lo juga bisa pake sendiri, mandiri dong. Cowok kok manja." ejek gue sambil beranjak ninggalin Raka.

Eh? Tangan gue ditarik kenceng sama Raka sampai gue nabrak dadanya yang hmm.... bidang. Ditambah kancing atas yang nggak ditautkan, Raka terkesan manly.

"Nggak usah banyak ngoceh. Buru pakein." desaknya. Tatapan Raka nusuk mata gue. Antara kejam dan manis, pokoknya gue nggak boleh mabuk.

"Kancingin dulu."

"Lo nggak liat tangan gue sibuk?" sergah Raka. Dia nunjukin chat sama cewek. Terus? Emang itu ngaruh? Emang itu bikin dia sibuk?

Sebelumnya gue berdecak. Gue rada-rada grogi pas kancingin seragam Raka. Jujur, selama gue pacaran, gue nggak pernah sedeket ini. Gue emang nggak terlalu suka hal-hal manis.

"Masang gini aja nggak bisa. Sok-sokan sibuk. Pasti dirumah juga dipakein. Dasar cowok manja." Gue ngoceh, rasanya nggak ikhlas banget berbuat baik ke Raka.

"Diem atau gue cium?" Raka bekap mulut gue pake tangan. Gue mengerjap beberapa kali dan dasi yang hampir bener pun terhenti.

Tak!

Raka nyentil kening gue, sampai akhirnya gue sadar dan langsung lanjutin kegiatan tangan gue yang terjeda. Kalaupun gue anak kreatif, mungkin dasi ini udah berubah jadi bentuk kupu-kupu.

"Selesai." Gue agak dorong badan Raka dan sekarang jaraknya udah lebih baik.

"Ayo berangkat, ngapain malah duduk?" Gue skip sarapan karena emang waktunya udah habis. Semua ini gara-gara Raka.

"Gue mau sarapan dulu." jawab Raka santai. Lagi-lagi Raka ngerasa kayak dirumah sendiri, seenaknya aja ngambil makanan.

"Tapi, kita udah telat."

"Kita? Lo aja."

Sama kayak Raka yang gue kenal. Setelah kelakuannya yang manis tadi, dia berubah sikap jadi dingin. Apa emang kelebihan cowok itu bisa berubah sikap dengan cepat? Raka jalan ninggalin gue yang masih berusaha mikir keras.

"Raka, gue nggak bisa." Cowok itu natap ke arah depan, sampai akhirnya noleh gara-gara ucapan gue. Sempet dia liatin, tapi setelah itu malah dia kembali ke posisi awal.

"Nggak usah manja. Gue bukan pacar lo."

Wah, wah. Bakal timbul drama asik. Gue suka debat sama Raka. Karena endingnya selalu gue yang menang, walaupun gue harus dapat tatapan tajam dari Raka.

"Lo juga. Ngapain lo minta gue pakein dasi? Gue 'kan bukan istri lo."

"Nggak usah banyak ngelawan kata-kata cowok. Nanti bibir lo bisa monyong."

"Idih, boong banget. Buktinya bibir gue nggak kenapa-napa padahal gue sering bantah kata-kata bang David."

Mendadak, tas gue ditarik Raka. Enak banget main tarik-tarik aja. Untung ini tali tas sekuat baja. Coba kalo sekuat hati gue, pasti udah rapuh, hehe.

"Heh! Kalo tas gue rusak emang lo mau ganti?! Kasar banget lo."

Raka diem. Gue nggak bisa baca mata dia, yang jelas dia natap gue lumayan lama. Mau gimana lagi? Gue tatap balik. Masa' main tatap-tatapan aja gue kalah.

"Mata lo nggak ada bintangnya. Jelek."

Antara ketawa dan kesel. Bisa-bisanya Raka ngejek tapi lucu. Gue jadi bingung mau ngakak apa nampol anak satu ini.

***

Gerbang sekolah hampir aja ditutup. Untung Raka gercep walaupun nyawa yang jadi taruhan. Nggak heran juga, Raka udah biasa ngebut. Cuma gue kesel aja, rok gue jadi naik dan rambut gue lepek. Tangan gue yang satu buat nahan rok dan tangan yang lain buat pegangan. Gue sama sekali nggak bisa menikmati perjalanan pagi.

Raka ulurin satu tangannya, menghadap ke atas. Sementara alis gue bertaut, bingung. "Buku gue."

"Buku? Buku yang mana?"

"Buku kecil warna biru."

"Eh, ketinggalan. Gue lupa."

"Lo emang udah kebiasaan lupain hal-hal yang berkaitan sama gue." Raka milih pergi tanpa mau jelasin kata-katanya.

"Maksudnya? Gue pernah lakuin hal-hal tentang lo? Perasaan nggak pernah deh. Raka, jelasin!" Gue lari kecil, sebisa mungkin nyamain langkah Raka yang.... buset lebar banget. Tapi, Raka tetep nggak gubris. Dia terus jalan ninggalin gue yang cukup kewalahan jalan disamping dia.

Waktu udah berjalan, dan bel masuk udah bunyi. Gue memutuskan buat masuk kelas dan tepis masalah sama Raka. Anehnya, disitu Gilang nggak ada. Gue ngerasa ada yang nggak beres.

"Nin, tumben Gilang nggak berangkat."

"Dia sakit. Seharusnya lo bersyukur dong."

"Iya, tapi pikiran gue nggak tenang."

"Pikiran lo goyang? Sini gue pegangin." Tiba-tiba Nindi pegang kepala gue sambil komat kamit kayak mbah dukun.

"Gue serius, Nindi. Apa gue pergi ke rumahnya aja, ya?" Di tengah-tengah suasana hati yang kalap, pikiran aneh selalu muncul. Entah gimana cara pikiran gue kerja, gue curiga mulu kalo sama Gilang.

Bersyukur sih bersyukur, tapi rasanya kalo Gilang nggak masuk gue nggak bisa uji adrenalin, walaupun kadang gue suka takut. Tapi, setakut-takutnya gue pas ketemu Gilang, gue lebih takut kalo Gilang nggak sekolah. Eh, mama gue?

"Nin, apa Gilang culik mama gue? Soalnya tadi pagi mama nggak ada. Nin, gue takut."

"Heh, jangan ngawur. Mana bisa Gilang culik mama lo. Mama lo 'kan, ehem, galak. Gilang dijamin takut."

"Ini bukan galak atau nggaknya mama, tapi ini tentang insting anak. Gue yakin, firasat gue ke mama itu kuat."

"Terus lo mau gitu mama lo diculik beneran? Positive thinking dulu, Ca. Mungkin juga mama lo lagi pergi sama temen-temennya. Secara 'kan mama lo nggak senolep lo, jadi temennya pasti banyak."

"Iya juga sih. Mama juga nulis surat kalo mama lagi nemenin temennya dirumah sakit. By the way, gue nggak nolep."

Gue milih tutup kuping daripada denger kritikan panas dari Nindi. Setelah gue ngomong itu, Nindi ngerasa menang. Emang anak satu itu ngeselinnya sebelas duabelas sama Raka.

<<<<>>>>

Just info ya guys, jadi ada perubahan nama disalah satu tokoh. Nah kalo ketemu yang namanya beda tapi satu tokoh, bilang yaa..

Nona Ista [ON GOING]Where stories live. Discover now