17. Ruang bawah rumput

2 2 0
                                    

Beberapa hal langsung bikin gue betah tinggal di desa. Hal-hal yang nggak bisa gue lakuin di kota, sekarang bisa gue rasain. Disini juga ada yang namanya kerja bakti yang dilakuin tiap dua minggu sekali. Bukan cuma orang dewasa, anak-anak juga ikut, partisipasi yang luar biasa.

"Banyak cowok-cowok yang deketin Ista, sampe Panji mau ngomong berdua aja susah." Panji ketawa pelan. Tawa itu rasanya hampa.

"Panji mau ngomong apa?"

"Banyak, Is. Cuma semua butuh waktu."

"Ternyata lebih susah bisa paham cowok. Jadi, boong kalo cewek itu sulit dipahami."

"Ngeyel sama fakta," Panji berdiri dan ngulurin tangan buat gue. "Ke sungai, yuk." ajaknya.

Tanpa banyak mikir, gue terima uluran tangan Panji. Saking senengnya mau diajak ke sungai. Panji selalu punya cara yang beda buat bikin gue bahagia, makanya Panji beda dari cowok lain.

"Terakhir kali ke sini waktu kita umur lima tahun, gue inget banget."

"Ista inget juga tentang sendal Ista yang kebawa air?"

"Oh yang itu, inget banget. Sempet nangis gara-gara takut dimarahin."

"Sampe sekarang masih sering nangis?"

Gue tatap Panji yang ternyata liatin gue. Mata Panji seolah nyari rahasia dari diri gue.

"Dari mata aja, Ista keliatan rapuh didalam." ucapnya spontan. Entah itu kebetulan atau gimana, buktinya Panji ngomong fakta. Panji ini cenayang?

"Panji ini psikolog?"

"Bukan, Panji cuma suka liatin gerak-gerik orang lain dan nebak kondisi psikis dia." Panji ngalihin pandangannya dan natap lurus ke depan.

"Ngomong-ngomong, abis lulus, Ista mau kuliah dimana?" tanyanya, setelah keheningan melanda sementara.

"Belum tau. Nggak tentu juga mau kuliah." jawab gue sebisanya.

"Kenapa? Mbah 'kan kaya, Is."

"Kaya sih kaya, tapi tetep nggak enak. Orang udah numpang, malah ngelunjak minta dikuliahin juga."

"Sama keluarga santai aja, Is. Nanti kalo kuliah, kita bareng lagi. Panji rasanya punya temen kalo ada Ista. Biasanya Panji cuma nongkrong sama cowok dan itu belum tentu bisa Panji ajak ngobrol tentang diri Panji. Sekarang rasanya Panji bisa jujur semua sama Ista."

Gue cuma diam. Emang bener, gue juga ngerasa nyaman ada Panji. Nyaman bukan dalam arti saling cinta, nyaman sebagai tempat curhat. Panji bisa ngertiin gue, daripada Papa. Dasar makhluk halus.

"Is, mau nyebur?" tanya Panji waktu dia udah lebih dulu nyebur ke sungai.

"Ikut." Panji ulurin tangannya dan disambut baik. Panji, Panji, lo emang temen gue yang bener-bener berharga.

***

Banyak yang kita lakuin bareng. Gue nggak butuh banyak waktu buat akrab sama warga disini. Faktanya kehidupan desa jauh dari yang namanya hidup individualisme.

"Mbak Nur, aku bisa bantu-bantu disini?"

Waktu itu gue lagi ngobrol sama Mbak Nur didepan warungnya. Mbak Nur jualan seblak, makanya suka mampir ke sini. Walaupun nggak setiap hari makan seblak Mbak Nur, disini gue ngerasa ada temen ngobrol.

"Bantu apa?"

"Sebenernya Ista pingin kerja, Mbak."

"Kerja buat apa, Is? Harta ada, semuanya kecukupan. Mbah juga mampu buat sekolahin kamu."

Emang nggak semua orang paham. Mereka selalu beranggapan kalo orang kaya itu serba tercukupi. Bener, orang kaya itu tercukupi, tercukupi buat hal-hal yang berbau harta, bukan kasih sayang.

"Nggak enak, Mbak. Ya kali Ista numpang semua. Toh, kekayaan juga bisa abis, Mbak."

"Kalo mau kerja disini nggak bisa, Is. Mbak Nur juga kerja, hasilnya buat kebutuhan keluarga sehari-hari. Itu juga kadang ngepas, ditambah Rehan juga sering jajan." keluh Mbak Nur.

"Kira-kira nyari dimana, ya, Mbak?"

"Buat itu Mbak Nur juga nggak tau, Is. Coba kamu ngobrol dulu sama Mbah dan coba kamu liat diri kamu, kira-kira bisanya apa."

Cukup beberapa menit gue diam ditempat. Kalo ngomong ini sama Mbah, pasti nggak bakal diizinin. Alasannya bisa sama, 'Mbah kaya.'

"Ista!" teriakan itu asalnya dari Panji. Dia datang bareng temen-temen yang lain, ada cewek dan ada cowok juga.

"Belajar bareng kita, yuk." ajak Dini.

Gue diam bukan kesekian kalinya. Ini bener-bener bikin gue kaget bukan main. Gue cengo. Diusia mereka yang udah duduk di bangku SMA masih ada belajar kelompok? Gue pikir, SMA udah hidup sendiri-sendiri dan nggak ada lagi belajar kelompok, adanya paling tugas kelompok.

"Ista kebanyakan bengong." Gita tepuk lengan gue. Alih fokus gue beralih ke Panji. Dia cuma nyengir.

"Udah, Ista ikut aja." Gita gandeng lengan gue dan kita akhirnya belajar dirumah Panji.

Gue ngerasa kembali lagi ke masa gue dulu. Selalu ngumpul sama mereka, terutama dirumah Panji. Suguhan makanan itu selalu ada, termasuk buat sekarang. Air sirup udah siap, ditambah beberapa macam biskuit, nikmati banget emang.

"Ini juga ada kue kering. Ista juga udah lama banget nggak makan ini, 'kan?" Bu Lasmi, ibunya Panji, nawarin kue kering yang udah dihidangin diatas piring.

"Cuma buat Ista, buk?" tanya Panji yang mungkin bakal protes kalo Bu Lasmi bilang iya.

"Buat semua. Wong ibu cuma nawarin secara khusus. Semua boleh makan dan semua boleh dimakan, asal piringnya jangan dibawa pulang." seloroh Bu Lasmi.

"Siap, Bu RT." ucap serempak.

Setelahnya kita lanjut makan dan becanda, saling tukar cerita. Sampai nggak kerasa tiba-tiba udah sore. Saking asiknya ngobrol pasti.

Semuanya pulang, kecuali gue yang ditahan Panji buat pulang. "Is, Panji punya ruang rahasia dirumah ini."

"Mana?" Gue langsung tertarik.

"Sini." Panji ngajak gue ke belakang rumah. Dia ngambil kunci di sakunya dan mulai buka pintu yang ada dibawah tumpukan rumput.

Gue sempet cengo. Nggak tau ini keberapa kalinya gue suka bengong. Tapi ini serius, ruang rahasia Panji bener-bener bikin takjub.

"Ini Panji sendiri yang bikin?"

"Namanya juga ruang rahasia, Is. Harus terjaga dari orang lain."

Disini ada foto gue sama Panji waktu kecil. Barang-barang kesukaan gue juga ada disini. Ini bukan lagi ruang rahasia, tapi ini ruang kenangan. Dipojok sebelah kanan, ada rak yang isinya barang-barang antik.

"Yakin ini nggak ambruk?" tanya gue spontan. Diliat dari mata sih ini aman, cuma kalo dinalar, ini bisa ambruk.

"Ada beton, Is. Semoga aja aman. Kalo ambruk, berarti semua ini bakal ke kubur."

"Kenapa nggak Panji simpen dikamar aja?"

"Nggak, kamar itu tempat buat tidur bukan buat nyimpen kenangan. Ini juga Panji anggep museum kenangan. Kalo dikamar juga, takutnya kecampur sama barang lain, mending disini lebih gampang nyarinya."

"Museum kenangan."

<<<<>>>>

Nona Ista [ON GOING]Where stories live. Discover now