23. Panji yang bikin kecewa

1 0 0
                                    

Makin hari, makin ada yang nggak beres. Dua hari ini Dini sama Panji nggak masuk sekolah. Mau ke rumah Panji nggak jadi-jadi mulu, dikit-dikit ada tugas, dikit-dikit ada tugas, rasanya nggak ada waktu buat ke sana.

"Beneran nggak bisa ditelpon?" Gita geleng-geleng buat jawab pertanyaan itu. Sekarang gue sama Gita jadi lebih akrab gara-gara dua orang itu.

"Penasaran banget deh. Kita nanti ke rumah Dini aja gimana? Mumpung Dini dirumah sendiri. Kalo ke rumah Panji, aku nggak terlalu akrab sama orang tuanya."

"Boleh."

"Bolos aja, Is. Masih lumayan lama jam pulang sekolah. Keburu pingin tau."

"Nekat banget, Ta. Kita ini mau ujian kenaikan, aku nggak mau ketinggalan pelajaran."

Nah, baru diem ngomong itu, tiba-tiba ada pengumuman didepan. Gue sama Gita yang mau adu argumen akhirnya nggak jadi.

Kepala sekolah udah ada di podium, dan murid-murid udah ngumpul. Entah udah semua atau baru beberapa, karena bisa gue katain disini muridnya banyak.

Beberapa patah kata beliau ucapkan, hanya yang penting yang gue inget-inget, bersih-bersih kelas!

Baru kali ini ada program kebersihan buat seluruh warga kelas. Mungkin karena ini di pedesaan, jadinya gotong royong masih kental banget.

"Nah, waktunya bolos, Is. Pasti aman."

"Yakin banget. Kalo di cek lagi kehadirannya gimana?"

"Nggak bakal. Aku udah hampir empat semester disini, udah banyak pengalaman." Gue cuma bisa geleng-geleng denger itu dari Gita. Ya, gue akui kehebatanmu, Gita.

"Tanya Haikal aja, dia yang sering bolos." ajak Gita. Gue cuma bisa melotot. Ini serius? Gue minta tolong sama musuh sendiri? Nggak, nggak.

"Kamu aja yang nanya, aku mau ikut beres-beres."

"Nggak gitu dong. Nanti aku yang nanya, tapi kamu juga harus ikut bolos."

Agak maksa juga, ya, Gita ini. "Iya, iya."

Gue milih ke kelas dulu dan Gita bilang buat cepet-cepet rapiin tas, terus dibawa ke toilet yang dilantai satu. Gue cuma bengong sambil nunggu Gita. Gue emang kalo manipulatif keadaan bisa sih, bisa aja ketahuan hehe. Tapi syukur, ini nggak ketahuan.

"Gimana, Ta?" Gita celingukan setelah sampai didepan pintu toilet.

"Nunggu Haikal. Dia juga katanya mau bolos."

"Ngapain ikutan?"

"Pergi ke lorong kedua dari sini." Mendadak suara Haikal langsung bikin gue nggak semangat lagi.

"Gita ikutin Erwin aja, ntar biar gue yang handle cewek ceroboh ini."

Gue jengah sama makhluk ini. Bisa-bisanya bilang gue cewek ceroboh. Lo belum tau gue yang sebenernya, Haikal.

"Konsep bolos lo terlalu bahaya. Pasti setelah lewat lorong itu, bakal mentok di depan gudang. Emang disitu daerah yang aman buat bolos, tapi buat hari ini kemungkinan besar gagal. Selain banyak orang yang bersihin gudang, disana juga perlu naik tembok 'kan? Lo pikir kita yang cewek gampang lewatin tembok itu pake rok pendek gini?"

Haikal silangin tangannya didepan dada. Emang nantang banget sih kutil komodo ini. "Terus, ide lo gimana?"

"Lewat perpustakaan. Jendela perpustakaan langsung ngarah ke pos satpam. Nah, disamping pos satpam itu ada pintu, kita keluar lewat sana."

"Lo pikir berhasil? Pasti ada Pak Jaka yang lagi jaga perpustakaan." Haikal emang bener-bener nggak mau kalah.

"Lo nggak liat didepan ada banyak buku yang udah rusak? Buku-buku itu bakal diganti sama yang baru. Otomatis Pak Jaka sibuk ngurusin semuanya, artinya perpustakaan kosong. Kalaupun ketahuan, tinggal bilang aja kebagian bersih-bersih di perpustakaan."

"Iya, pake cara Ista aja. Cepetan keburu Pak Jaka kesini. Mumpung pak satpam juga lagi bantuin Pak Jaka." ucap Gita yang sabarnya lebih tipis dari selembar tisu.

"Kali ini lo yang menang, Is." Haikal tatap gue tajam. Gue sama Haikal nggak akur setelah gue lebih dulu ambil es jeruk yang tinggal satu di kantin. Haikal baperan buat ukuran cowok.

***

Setelah keberhasilan itu, gue sama Gita jalan berdua ke rumah Dini. Dua cowok tadi mampir dulu ke warung, sebat rokok dulu mungkin. Padahal warung itu nggak jauh dari sekolah. Terserah mereka aja deh.

"Kayaknya kita emang ditakdirin buat bolos. Buktinya diantara kita nggak ada yang bawa kendaraan sendiri, otomatis ini jauh lebih gampang, nggak perlu repot mikir gimana kendaraannya nanti." ucap Gita yang buka pembicaraan waktu udah hampir deket gang rumah Dini.

"Mungkin cuma kebetulan."

"Eh, ini sandal punyanya Panji bukan sih? Kok kayak pernah liat dia pake ini." Kita berdua sampai dan langsung disambut pemandangan yang nggak beres. Gita saking herannya bahkan sampai jongkok dan bener-bener perhatiin sandal itu.

"Penasaran. Coba liat dari ventilasi belakang, Is." ajak Gita, dan gue mau-mau aja.

Nggak ada aktivitas yang gue liat dari ventilasi dibelakang rumahnya. Sekarang kita pindah ke ventilasi samping rumah. Kali ini keliatan jelas. Ternyata bener, itu sandal Panji dan pemiliknya ada didalam rumah itu, lagi duduk berdua sama Dini.

Anehnya, daerah ini cenderung sepi. Jadi kemungkinan besar banyak hal diluar logika, mungkin.

Gue liat Dini lagi nangis disamping Panji, dan Panji seolah nenangin Dini. Belum kedengeran apa-apa, karena emang mereka lagi saling beradu perasaan. Sama kayak gue, bedanya gue perang sama hati dan pikiran gue sendiri. Antara gue sakit hati dan status gue yang cuma temennya Panji, nggak lebih. Artinya gue nggak pantes cemburu, gitu 'kan?

"Gugurin aja gimana?" tawar Panji yang bikin mata gue melotot. Dini hamil?

"Lebih baik aku yang mati daripada anak yang nggak bersalah ini!" ucap Dini dengan nada tinggi dan suara isak tangis yang semakin menjadi-jadi.

Satu lagi, ternyata ini pemilihan tempat yang tepat. Selain keliatan jelas, gue juga bisa jelas dengerin mereka. Terus, kapan mereka lakuin hal kotor itu?

"Jangan nekat, ya? Kita rawat anak kita bareng-bareng. Aku janji bakal nikahin kamu setelah ujian kenaikan." Panji menawarkan jari kelingkingnya sebagai simbol janji.

"Sekolahnya gimana?"

"Putus sekolah. Mau gimanapun, kandungan kamu makin hari bakal makin keliatan. Daripada ketahuan sama temen-temen yang lain, mending kita putus sekolah. Alasannya pindah sekolah."

"Kamu udah bilang orang tua kamu?"

Panji ngangguk. Ternyata cowok itu diam-diam menghanyutkan. Pantes aja sekarang rumah Panji sering ditutup, ternyata karena emang orang rumah tau semua itu.

"Janji nikahin aku, ya?" Dini menawarkan jari kelingkingnya dan disambut dengan pertemuan jari kelingking Panji.

SRAKK!

Aduh, batu yang gue naikin tiba-tiba longsor. Untung gue sigap langsung berdiri. Suara itu pasti kedengeran sama mereka, jadi gue buru-buru tarik Gita buat lari dari situ.

Kita liat dari kejauhan, Dini sama Panji cari sumber suaranya. Untung lagi, ada kucing yang nggak jadi dari tempat yang tadi. Syukur deh kalo mereka percaya pelakunya kucing.

"Bikin rencana bolos aja lancar. Giliran soal ngintip aja hampir ketahuan." ejek Gita, kemudian tertawa.

Gue juga cuma bisa ketawa, walaupun aslinya hati gue lagi ngenes banget. Rasanya nyesek denger Dini hamil anaknya Panji. Luar biasa Panji, udah bikin gue percaya, malah dia juga yang bikin gue kecewa.

<<<<>>>>

Alooo, gimana nih ceritanya sejauh ini?
Ada yang bagus, ambil aja. Biar yang jelek semakin intropeksi diri, hehe.

See you next part~

Nona Ista [ON GOING]Where stories live. Discover now