05. Kejutan luar biasa

7 7 5
                                    

Didepan gerbang sekolah, gue kayak anak ilang. Udah lebih dari dua jam gue nunggu bis datang. Bang David hari ini ada urusan penting sama papa, makanya dia nggak bisa jemput. Katanya urusan bisnis, kalau emang beneran bang David bantu papa ngurus bisnis, artinya nggak ada lagi kumpul-kumpul geng motor dirumah, gue seneng banget!

Tapi, yang gue khawatirin sekarang itu masalah bisnya. Sebenernya gue telat ke halte, soalnya mampir dulu ke perpustakaan, nyari novel. Biasalah, gini-gini gue kalau gabut suka baca, baca novel sih.

Gue semakin kalap pas hujan tiba-tiba datang. Posisinya gue sendiri, mana hampir jam enam sore lagi. Yang gue takutin bukan hantunya, yang gue takutin itu orang yang jahat ke gue. Kalau hantu paling cuma ngintip atau ganggu aja, tapi kalau orang jahat bisa lukain fisik. Jadi keinget Gilang.

Pas gue melamun, mendadak ada suara klakson mobil. Gue makin was-was waktu orang itu buka pintu mobil. Gue liat dari seragamnya sama kayak gue, mungkin gue kenal.

"Pulang sama gue."

Ternyata, oh ternyata. Gue emang kenal. Nggak ada habisnya, gue ketemu terus sama Raka. Mana tiap ketemu pas gue butuh bantuan lagi, gue jadi nggak enak sama dia.

"Gue nunggu bang David."

"Lo pikir gue bodoh? Justru bang David yang nyuruh gue buat balik bareng lo."

Segitunya? Segitunya bang David ngekang gue buat pulang sendiri dan malah ngrepotin orang lain? Bukannya bersyukur, gue malah nggak enak.

"Nggak, gue mau nunggu bis."

"Jam segini? Bis udah pada istirahat, paling nggak nanti malam mulai kerja lagi. Lo mau terus disini, hah?"

"Seenggaknya gue nggak pulang bareng lo."

Raka diem, dia nggak bergerak ditempat. Waktu-waktu kayak gini, otak gue lancar kalau buat inget sesuatu.

"Lo nggak usah ngikutin perintah bang David. Lo sendiri yang bilang kita nggak ada hubungannya sama sekali. Jadi, stop ngrepotin diri sendiri buat orang lain." tolak gue ketus.

"Kapan gue ngomong kayak gitu?"

"Waktu gue ikutin lo pas abis dari UKS. Lo bilang gini, 'lo nggak ada hubungannya sama gue', gue masih inget banget kok. Kurang lebih jam delapan lewat lima menit lo bilang gitu."

"Cewek emang nyusahin. Udah, nggak usah banyak omong, gue cuma nurutin perintah atasan gue."

Oke, kali ini kesabaran Raka habis. Dia tarik tangan gue dan paksa gue buat naik mobilnya. Gue malah mikir dulu, dia bawa motor tadi pagi, terus motornya dikemanain? Dititipin di sekolahan? Ntahlah, terserah orang kaya aja deh.

Gue cuma diem duduk sampingan sama Raka. Padahal dalam hati gue pingin nangis dengar petir yang sahut-sahutan. Gue cuma bisa pegang ujung jaket yang gue pake. Rasa dingin sama rasa takut, sekarang campur aduk, nggak enak banget.

Tiba-tiba Raka kasih gue kain yang lumayan lebar. "Buat nutupin paha lo." Gue nggak pikir panjang, gue langsung ambil dan tutup kaki gue. "Lain kali panjangin lagi roknya."

"Raka," Gue panggil Raka dalam keadaan sadar. Ya, gue sengaja panggil dia. Sebenernya kalau boleh jujur, gue perlu tangan buat dijadiin gandengan.

"Hm?"

"Nggak jadi."

Nggak lama dari itu, petir datang lagi. Gue pejamin mata kuat-kuat. Mendadak tangan gue ada yang raba. Gue buka mata, ternyata Raka genggam tangan gue.

"Gue dikasih tau bang David." kata Raka tanpa liat ke gue, pandangannya lurus ke depan.

Nyatanya petir itu dibarengi kilat. Gue refleks tutup mata lagi. Gue dibikin kicep lagi waktu Raka tiba-tiba peluk gue. Gue jadi semakin yakin kalau Raka emang deket banget sama bang David. Buktinya dia tau cara bang David nenangin gue pas ada petir.

"Lo tidur aja biar nggak denger petir lagi." kata Raka sambil elus kepala gue. Justru itu yang bikin gue ngantuk, dan akhirnya gue tidur sampai depan rumah.

"Ca, bangun. Udah nyampe."

Gue denger Raka bilang kayak gitu, tapi nyatanya gue ngantuk banget sampai berat buat buka mata. "Kalau kesabaran gue abis, gue nggak segan-segan buang lo beneran."

Gue spontan bangun. "Maaf ketiduran."

"Raka!" Gue nggak sengaja peluk Raka waktu gue denger petir lagi. Ternyata diluar masih hujan. Soalnya didalam mobil nggak kedengeran hujannya, maklumin aja, mobil mahal.

"Nggak usah modus. Itu udah ditunggu pak Alan."

"Pala lo modus!" Gue lempar kain tadi ke muka Raka. Ngeselin banget emang si Raka.

Gue dianter pak Alan sampai depan rumah. Kayaknya kalau punya sopir pribadi modelan pak Alan gini pasti asik. Ini wajib direkomendasiin ke papa.

"Terima kasih, pak Alan."

"Sama-sama, neng."

Gue liat kerutan disamping matanya waktu pak Alan senyum ramah ke gue. Keliatan banget kalau pak Alan udah berumur. Tapi semangat kerjanya masih kuat, pak Alan emang hebat sih.

"Eh? Mama!" teriak gue sambil lari peluk mama. Ini bener-bener surprise sih.

"Gimana kabar anak mama yang cantik ini?"

"Baik kok, ma. Mama sendiri gimana?"

"Baik juga kok. Eh, ayo makan dulu. Kamu pasti kangen masakan mama 'kan?" Gue ngangguk antusias.

"Wah, udah lama nggak makan perkedel buatan mama."

"Makanya kamu harus sering-sering masak. Kamu juga udah kelas sebelas lho, minimal pinter bikin sup."

"Siap, mama."

Setelah makan malam, gue sama mama duduk diruang tengah. Banyak hal yang gue ceritain ke mama, terkecuali Gilang, gue nggak mau mama kepikiran.

"Berarti papa jadi terbang ke Singapura?"

Mama ngangguk. "Dan David dikasih bagian ngurus perusahaan di Surabaya. Sebenernya kesepian sih ditinggal dua cowok-cowok itu. Jauh dari papa, jauh juga dari anak cowok satu-satunya."

"Nggak apa-apa, ma. Kan masih ada Caca. Caca siap hibur mama." ucap gue semangat.

"Kamu emang kebanggaan mama." balas mama ngelus kepala gue. Eh, malah keinget Raka.

"Ca? Kok bengong?"

"Eh? Nggak kok, ma."

"Pipi kamu merah, mikirin siapa hayo?" goda mama.

"Nggak mikir siapa-siapa kok, ma." sanggah gue cepat.

"Pasti udah kenal cowok." godanya lagi.

Nggak! Gue nggak boleh baper sama Raka. "Ih mama gitu deh." Gue pura-pura ngambek didepan mama.

"Becanda, sayang."

"Oh iya, ma. Kalau udah selesai SMA, menurut mama Caca harus kuliah apa gimana?"

"Mama sih nggak tekanin kamu buat harus kuliah. Kalaupun kamu mau kerja, ya silahkan asal kerja yang baik. Kalaupun kamu mau nikah, mending jangan dulu. Pencapaian prestasi dan finansial itu perlu."

"Coba deh kamu bayangin kalau kamu abis SMA langsung nikah, sementara kamu belum siap apa-apa. Pasti kamu yang bakal dibikin malu sama keluarga cowok. Ibarat kamu nggak kuliah, rasanya nggak punya prestasi. Kamu nggak kerja, kamu nggak punya penghasilan sendiri."

"Intinya, mama harap kamu mau kuliah, kamu punya rasa semangat buat cari ilmu. Mumpung ada kesempatan. Tapi, kalaupun kamu mau langsung kerja, mama juga nggak masalah. Mama kasih kamu kebebasan, asal jangan melampaui batas." jelas mama.

"Mama emang pengertian. Makasih, ya, ma."

Malam ini jadi malam kebahagiaan gue bisa kumpul bareng mama. Mama udah gue anggap kayak sahabat gue sendiri. Beliau yang sering dengerin curhatan gue, terutama pas malam hari. Nggak banyak yang gue minta, selain waktu yang lapang buat gue bisa kumpul bareng mama, papa dan bang David.

<<<<>>>>

Nona Ista [ON GOING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora