19. Pasar malam

0 2 0
                                    

Mata gue berbinar, ini luar biasa. Udah lama gue nggak pergi ke pasar malam. Siang tadi gue sama Panji cek ke sini, tapi yang namanya persiapan belum keliatan bagusnya. Ini baru keren, warna-warni lampu langsung nerpa mata gue.

"Is, naik komedi putar, yuk." Saking terpukaunya, ternyata Panji udah ngajakin gue ngomong daritadi.

"Ayo!"

Dari dalam komedi putar, gue nggak bisa berenti liat keluar. Boleh dikatain gue ini norak, tapi emang kenyataannya gitu, gue kangen suasana kayak gini.

"Seru nggak, Is?"

"Seru banget!"

"Ista jarang ke pasar malam?"

"Di kota nggak ada pasar malam. Adanya lampu lalu lintas yang warna-warni."

"Salah siapa dulu mau diajak ke kota."

"Iya, aku yang salah. Aku kira di kota bakalan lebih gampang semuanya. Sekolah elit, temen banyak. Syukur-syukur dapet cowok."

"Ista nggak punya cowok waktu di kota?"

"Punya. Tapi gara-gara dia, aku jadi nggak suka sama cowok. Dia juga yang udah bikin Mama nggak ada." Ngomong-ngomong Mama, mata gue jadi berair. Padahal ini rame.

"Maaf, Panji yang salah nanya."

Panji pindah duduk disebelah gue dan narik kepala gue buat nyandar ke dia, setengah peluk. Gue yang udah sedih, langsung nangis, nggak peduli kalaupun orang lain liat. Panji emang tipikal cowok yang banyak bukti daripada omongan.

Gue lepas, menjauh dari Panji. "Udah mendingan?" Gue cuma mampu ngangguk. "Ayo, turun. Ini udah selesai."

Gue malu, mata gue sembab. Tapi gue nggak bisa nyalahin Panji gitu aja walaupun aslinya gara-gara Panji.

"Mau pulang sekarang?"

Gue cek jam di handphone, ternyata baru jam sembilan. Kalo ditanya puas atau belum, gue bisa teriak belum. Tapi sekali lagi ini gara-gara gue nangis gue nggak bisa lanjut. Gue milih pulang aja daripada gue seneng-seneng tapi matanya sembab. Orang bakal liatin gue aneh.

"Mbah kayaknya belum pulang, Is. Tunggu sini aja kalo nggak berani dirumah sendiri." Gue setuju. Gue nunggu Mbah pulang didepan rumah. Nggak tau ini gue pamali atau nggak duduk berdua didepan rumah sama cowok malem-malem gini.

"Eh, tadi tugasnya udah selesai apa belum sih?" Di tengah-tengah keheningan, tiba-tiba Panji ribut sendiri. Ada gitu orang yang diajak sedih malah mikir tugas.

"Udah, Panji. Tadi jam empat lewat sepuluh menit. Waktu ada penjual jamu lewat."

"Heran sama cewek, bisa hafal kayak gituan. Pantes aja selalu menang kalo diajak debat, ternyata cewek-cewek itu teliti banget."

"Loh? Kalian udah pulang?" Suara itu dari Mbah Kung disebelah kanan.

"Baru aja, Mbah."

"Ayo, masuk. Nggak baik kalian berduaan gini." lanjut Mbah Uti.

"Panji pulang dulu, ya, Is."

"Nggak mampir dulu?" tawar Mbah Uti.

"Makasih, Mbah. Udah malem soalnya."

Gue masih berdiri didepan rumah, sampai Panji nggak keliatan didepan gang sana. Gue diajarin ini sama Mama, ini termasuk sopan santun, nganterin tamunya kalo mau pulang. Beda sama Papa yang jarang ngajarin gue, makanya gue sering bilang 'diajarin Mama', atau 'diajarin Mbah'.

Waktu dipasar malam tadi, gue belum banyak naik wahana disana. Adanya gue makan ini itu sama Panji. Anak itu ternyata kalo makan banyak, tapi Panji suka olahraga, makanya berani makan banyak.

"Besok kira-kira bawa bekal apa, ya?"

Setelah dipikir-pikir, kelamaan juga ngantri di kantin. Gara-gara Dini, gue jadi mutusin buat bawa bekal sendiri. Liat-liat di internet, gue jadi kepikiran bikinin bekal buat Panji.

***

Sekitar jam empat, alarm handphone gue bunyi. Nggak butuh waktu lama, gue langsung bangun. Walaupun sebenernya gue masih ngantuk banget, tapi gue punya tujuan bangun pagi ini.

Gue liat apa yang ada dikulkas. Semalem sempet rencana mau bikin tumis udang, tapi ini udangnya nggak ada. Jadi, karena udang nggak ada dan adanya sayur, gue pilih bikin capcai aja. Gue bikin agak banyak, sekalian buat sarapan Mbah nanti.

"Duh, wangi banget masakannya." sambut Mbah Uti yang baru keluar dari kamarnya. Dia langsung mampir ke dapur gara-gara baunya yang hm...katanya wangi.

"Aku nanti mau bawa bekal aja. Tapi ini aku masakin juga buat Mbah."

"Pinter, ya. Kalo pinter masak, pasti disayang mertua."

Aduh, pipi gue tiba-tiba panas. "Mbah ini, udah ngomong mertua aja."

Seketika gue keinget orang tua gue. Nikah kalo nggak didatengin orang tua rasanya hampa. Gue jadi ngebayangin nikahan gue nanti bakal sedih banget.

"Lanjutin masaknya, malah bengong." Mbah Uti tepuk tangan gue. Gue seketika sadar dari lamunan gue. Hampir aja gosong.

Setelah berkutak dengan alat dapur, akhirnya selesai juga. Semua ini gue yang masak, ada capcai, ikan goreng sama telor gulung. Mbah tadi sempet nawarin bantuan, tapi gue tolak karena gue juga pingin jago masak. Kecuali buat sambel, itu buatan Mbah Uti.

"Ini Ista semua yang masak?" tanya Mbah Kung yang baru aja duduk. Beliau pasti dari belakang, liat koleksi ikannya.

"Iya, Mbah. Kecuali sambel, ini Mbah Uti yang bikin. Aku belum bisa."

"Nanti Mbah ajarin." tawar Mbah Uti, dilanjutkan dengan sarapan kami bertiga. Segala pujian gue denger dari mereka. Pagi ini bener-bener indah.

"Ista bawa bekal dua?" Mbah Uti mau ngambil minum, tapi berhenti waktu liat gue siapin bekal.

"Iya, Mbah. Satunya buat Panji. Soalnya kelamaan kalo nunggu antrian di kantin. Belum sempet makan, eh udah bel masuk." keluh gue.

"Bener itu. Masakan sendiri juga lebih sehat." Mbah Uti acungin dua jempol ke gue. Gue seneng liatnya.

"Mbah, bentar lagi Panji dateng. Aku pamit dulu, mau nunggu di teras aja."

"Iya, hati-hati." Gue salim dulu sama Mbah Uti, dilanjut Mbah Kung yang lagi-lagi ada dibelakang. Mbah Kung emang sibuk banget sama ikannya. Kalo nggak ikan, ya, burung.

"Mbah, ini enak kayaknya kalo dimasak." hasut gue ke Mbah Kung.

"Nggak boleh, ya. Nunggu ada keturunan lagi." tolak Mbah Kung. Cinta banget emang sama ikan.

"Lanjutin sama ikannya, Mbah. Aku mau berangkat sekolah dulu."

"Yang pinter, Is. Jangan nakal disekolah. Nanti pulang langsung ke rumah, tapi jangan eksekusi ikan lho."

Gue ketawa gara-gara Mbah Kung. "Nggak, Mbah. Ista janji." Gue nunjukin dua jari--peace--didepan Mbah Kung, sebagai bukti gue udah berjanji.

"Ista, Panji udah didepan!" teriak Mbah Uti.

"Ista berangkat dulu, Mbah!"

Gue lambaiin tangan, ucapan dadah secara implisit.

"Is, gelangnya masih dipake?"

"Ini, masih."

Kelewatan satu, gue sama Panji sempet beli gelang yang sama. Walaupun ini kesannya kayak kekanak-kanakan banget, tapi gue ngerasa suatu kebahagiaan tersendiri. Bukannya gue beruntung punya temen yang paham perasaan gue? Tentu iya, punya temen yang mau diajak susah bareng itu sesuatu yang langka. Pinter-pinter aja pilih temen.

<<<<>>>>

Nona Ista [ON GOING]Where stories live. Discover now