18. Latihan senyum

1 2 0
                                    

Bulan-bulan terakhir ini gue selesaiin tanpa ada masalah yang rumit. Gue yakin, hidup ini pasti ada masalah. Tapi setiap masalah itu, solusinya gampang banget gue dapetin. Ini juga pengaruh orang-orang sekitar yang selalu ngasih dorongan-dorongan positif.

"Bentar lagi kenaikan kelas. Ista udah ada siapin apa aja?" Panji mulai rebahan dikursi rotan depan rumah dia. Kebetulan gue sama Panji abis belajar bareng.

"Banyak, termasuk mental juga. Gue ngerasa lebih baik tinggal di desa. Lebih ngerasa pinter juga."

"Ista bisa ilangin kata 'gue'? Panji ngerasa itu sebuah penghalang. Secara, Panji itu orang desa yang nggak pake kata itu. Rasanya kita ini asing, Is."

Gue ngangguk. "Bisa, nanti gue..-eh aku usahain."

"Itu lebih lembut, Is. Kamu itu udah ada bawaan jiwa-jiwa lemah lembut sebagai cewek. Cuma ketutup sama muka kamu yang belum terbiasa buat senyum." tutur Panji. Dia tutup mukanya pake lengan. Mungkin ngantuk.

"Keliatan nggak ramah, ya?"

Kita ngobrol tanpa liat muka. Panji tiduran diatas kursi rotan, sementara gue duduk lesehan dibawah yang nggak jauh dari Panji.

"Kalo pas bareng Panji, Ista murah senyum. Tapi kalo Panji liat dari kejauhan, waktu Ista bareng temen-temen yang lain, Ista keliatan judes."

"Sampe ada yang ngomongin Ista."

"Serius ada yang gibahin gu-eh aku?" Gue putar posisi duduk setengah lingkaran. Gue duduk sila sambil liat Panji yang masih diposisi sama.

"Iya. Panji waktu itu lewat depan perpustakaan, eh nggak sengaja denger ada yang bilang gini, 'Ista itu cantik, minusnya nggak ramah aja,' sampe ada yang bilang 'maklum, dia itu pindahan dari kota,' Panji mau cerita ini sama Ista tapi lupa terus."

"Ternyata aku seburuk itu." Gue menghela napas dan turunin bahu gue.

Gue denger dari kursi yang Panji naikin itu bunyi. "Nggak buruk, Is. Ista cuma perlu banyak senyum aja." Panji pindah duduknya disebelah gue.

"Ista coba senyum."

"Gini?"

"Lebar kayak gini, Is. Ista biasanya kalo senyum ke temen-temen cuma seperempat. Pantes mereka bilang Ista itu judes."

"Seperempat itu segini?" Gue senyum, senyum dikit banget dan cuma beberapa detik.

"Nah itu. Coba Ista senyumnya tambah lagi. Misalnya keliatan gigi gitu. Kayak gini." Panji senyum lebar sampe keliatan gigi gingsulnya.

"Mau pamer gigi? Itu sih cocoknya buat Panji, jadi manis kalo senyum gitu."

Panji ketawa. "Cuma nyontohin, Is. Ngomong-ngomong, besok Ista nggak ada acara?"

"Nggak ada. Mau ngajak jalan?"

"Pinter banget nebaknya," Setelah kata-kata itu, Panji usap kepala gue. Hal yang biasanya gue lakuin ke Panji malah berbalik ke gue. "Besok ke balai desa."

"Ngapain?"

"Bikin kartu keluarga sama Ista."

"Panji!"

"Becanda. Besok temenin Panji siapin tenda di lapangan buat pasar malam."

"Eh seriusan ada pasar malam?"

"Iya, buat besok malem."

"Itu nggak dadakan?"

"Sebenernya udah dari beberapa hari. Yang siapin pemuda desa. Nah, Panji juga disuruh bantuin, tapi belum sempet dan akhirnya ini Panji ada waktu. Jadi, bisa deh bantu-bantu disana,"

"Sengaja, biar tugasnya dikit." sambung Panji, setengah berbisik.

"Dasar Panji," Gue ketawa gara-gara ucapan Panji. "Tapi, kayaknya Mbah belum tau deh. Soalnya belum ngomong."

"Udah, Is. Mungkin lupa. Atau mungkin sengaja biar Ista ke sananya sama Panji."

"Pasti ini rencananya Panji."

"Emang bener, Panji yang nyuruh orang-orang terdekat Ista buat rahasiain ini." Seolah keceplosan, Panji tutup mulutnya sendiri.

"Panji ngeselin."

"Aduh Ista! Sakit, Is! Ista udah!" Panji elusin lengannya yang merah gara-gara cubitan gue. Kesel iya, kasian juga iya.

Emang Panji orang yang punya banyak cara bikin gue ketawa. Nggak ada rasa bosen walaupun gue sama Panji sering ketemu. Rasanya ada yang kurang kalo nggak ketemu.

***

"Mbah, besok malem ada pasar malam, ya?" Mbah Kung sama Mbah Uti waktu itu lagi bareng-bareng duduk diruang tengah. Gue sebenernya rada iri liat mereka berdua, lain banget sama Mama Papa.

"Nggak ada." Mbah Uti jawab cepat. Gue ikut duduk berseberangan sama mereka.

"Kata Panji, Mbah udah tau."

Mbah Uti tiba-tiba senyum. "Oh iya, besok malem pasar malamnya. Panji yang nyuruh Mbah buat rahasia ini dari Ista."

"Panji bilang apa aja sama Mbah?"

"Nggak banyak. Cuma disuruh jaga rahasia aja. Disuruh nggak bilangin Ista soal pasar malam itu."

"Panji izin ke Mbah buat pergi bareng Ista ke pasar malam." sambung Mbah Kung, dilanjut minum kopinya lagi.

"Mbah izinin. Cuma Mbah pesen ke Panji buat balikin Ista dalam keadaan baik dan nggak boleh lebih dari jam sembilan malem." lanjut Mbah Kung yang tadi kepotong sama seruputan kopinya.

"Sebelum jam sembilan? Itu sebentar banget, Mbah. Tambahin jadi jam sepuluh atau setengah sebelas. Dulu aja waktu Ista di kota, Ista sering pulang malem. Tapi Ista mainnya dirumah Nindi sih."

Mbah Uti pindah duduknya disebelah gue. "Itu. Disini adanya Panji, bukan Nindi. Panji itu cowok, walaupun dia deket sama keluarga kita, yang namanya orang itu bisa aja khilaf. Mbah nggak mau kamu kenapa-napa." Mbah Uti elus kepala gue pelan.

"Mending kamu tidur. Ini udah jam setengah sepuluh." lanjut Mbah Uti.

"Belum ngantuk, Mbah."

"Paksa. Kamu nggak boleh tidur kemaleman. Cah wedok itu tidurnya teratur." celetuk Mbah Kung.

"Nggeh, Mbah." Gue beranjak. Mbah Kung punya sisi berbeda kalo lagi serius. Garis di keningnya bikin wajah Mbah Kung jadi sangar.

"Mbah, aku besok diajak Panji buat nemenin dia siapin tenda." Gue kembali ke ruang tengah setelah beberapa langkah menjauh.

"Boleh. Tapi jangan kesorean." tutur Mbah Uti.

"Siap, Mbah."

Belum sempet gue bahas tentang gue yang pingin kerja. Jujur, gue juga belum berani ngomong. Liat ekspresi Mbah Kung yang tadi aja udah bikin gue merinding. Ini bukan tentang hantu, tatapan tajam Mbah Kung ngalahin semua itu.

Gue jadi bingung, butuh pencerahan padahal lampu dikamar belum gue matiin. Buat sekarang, mungkin bener kata Mbak Nur, gue fokus sekolah dulu. Bahagiain Mbah-yang dulu mau bahagiain Mama. Sekarang, lebih nerima keadaan aja daripada terus-terusan sedih.

<<<<>>>>

Nona Ista [ON GOING]Where stories live. Discover now