14. Pras penolong

3 2 0
                                    

Tanpa ada orang terdekat yang tau, gue nyari hotel yang sekiranya bisa buat gue tidur malem ini. Gue pilih hotel yang lokasinya cukup jauh dari orang-orang yang gue kenal. Untung sebelum pergi tadi, gue sempet ambil barang-barang mama, termasuk perhiasan, uang dan tabungan, mungkin gue butuh buat kebutuhan hidup.

"Maaf, Ma, Caca mungkin bakal gunain beberapa uang Mama buat hidup Caca."

Rencananya, gue bakal nekat keluar dari sekolah dan gue mau pergi ke kampung. Disana gue punya kakek sama nenek. Kemungkinan besar gue pindah sekolah ke desa. Demi apapun, ini lebih baik daripada tinggal satu atap sama orang nggak tau diri itu.

"Kira-kira, alasan gue buat keluar sekolah apa, ya?" Gue tatap langit-langit kamar hotel sambil mikir hidup gue kedepannya. Tapi ini bakalan susah, mengingat Papa yang jadi donatur tetap disana.

"Tapi, kalo berita gue keluar sekolah nyebar, pasti orang-orang yang deket sama gue bakal curiga dan nyari gue, gagal kabur dong."

"Nggak mau tau, gue bakal blokir semua komunikasi mereka. Maaf, gue nekat kayak gini."

Gue hapus akun sosial media gue. Nggak ada yang terkecuali. Termasuk nomor mereka, udah gue blokir dan gue hapus. Entah kenapa gue pingin hidup mandiri.

"Oh iya, nanti gue di desa kerja apa? Orang-orang desa aja banyak yang ngerantau ke kota buat kerja. Tapi tenang, hidup bakal lebih enak dijalani kalo tenang. Rezeki udah diatur Tuhan, semangat!"

Gue mengangkat kepalan tangan ke langit sebagai simbol semangat buat diri sendiri. Gue bangun dan bersiap bikin surat kepindahan itu. Lebih cepat, lebih baik.

Beberapa menit sibuk didepan laptop, akhirnya gue selesai. Gue manipulasi beberapa dokumen buat pindah sekolah. Jujur, gue pingin lanjut sekolah lagi, tapi kali ini gue bakal sekolah di desa. Gara-gara itu, gue harus punya surat pindah sekolah.

"Hari ini sekolah libur, apa gue bakal tahan nunggu besok? Kayaknya kelamaan. Sekarang aja, deh."

Gue emang nggak tau menahu soal kayak gini. Tapi seenggaknya gue usaha, gue suka tantangan.

Gue pilih pakaian yang sekiranya nggak banyak yang kenal. Hari ini gue udah kayak maling, apa-apa ditutup. Gue pake masker, pake topi, mungkin udah cukup. Gue naik angkutan umum yang jelas lebih murah. Gini-gini gue harus irit.

"Gue pasti bisa."

Didepan bangunan besar, gue kembali naikin semangat gue yang sempet turun. Gue emang nggak akrab sama kepala sekolah, makanya canggung gini.

"Loh?! Pindah?!" Pak Wijaya, selaku kepala sekolah itu mukul meja didepannya. Keliatan dari urat lehernya yang menonjol, Pak Wijaya marah.

"Nggak bisa, Ca! Apapun alasannya kamu nggak bisa pindah!"

Susah ini. Pasti beliau ngarepin donasi dari papa. Gini banget jadi anak donatur sekolah. Uang, uang, uang! Harta nggak bakal dibawa mati!

"Maaf, Pak. Tapi ini sudah keputusan bulat. Papa juga sudah setuju, Pak."

"Kalo memang Papa kamu setuju, sekarang suruh beliau datang ke sini."

"Oh, tunggu sebentar, Pak."

Sesuai ekspektasi, untung ada salah satu temen desa gue yang ada disini. Sekalian gue minta bantuan. Postur tubuhnya persis Papa, tinggal dandan kayak Papa aja udah selesai.

Nona Ista [ON GOING]Where stories live. Discover now