02. Pindah Rumah

100 23 0
                                    

Apgujeong-Dong, Distrik Gangnam. Seoul, Korea Selatan. 01 Maret 2010.

- Jihye

     Di sebuah kontrakan kecil nan sempit inilah aku dan keluargaku tinggal. Terbilang sangat jauh dikatakan mewah. Di sini terdapat ruang dapur, ruang keluarga dan ruang tamu yang berada di satu tempat yang sama. Kalau kamar mandi sendiri berada di belakang ruang dapur, lalu kamar tidur berada tepat di seberang ketiga ruangan yang terhubung tersebut.

     Ada dua kamar saling bersebelahan. Yang satu kamar ibu satunya lagi kamarku dan kakak. Walaupun begitu, aku tetap merasa nyaman tinggal di kontrakan ini. Sekitar enam belas tahun, sejak aku lahir. Pada awalnya semua baik-baik saja. Hingga suatu ketika, di pagi yang cerah ada kabar buruk menanti yang kutakutkan pasti terjadi.

     "Sepertinya kita harus pindah rumah. Dari kemarin-kemarin pemilik rumah menagih uang sewa yang belum sempat Eomma bayar dan dia juga meminta Eomma berkemas-kemas barang untuk tidak lagi menempati rumah ini."

     Aku mendapati raut wajah Ibu masam usai mengatakan hal itu, sorot mata ibu terpaku pada meja namun tangan kanannya tetap mengaduk-ngaduk secangkir teh hangat. Kakak yang duduk di sebelahku, menggenggam tangan kiri ibu yang terkulai, berusaha menyalurkan semangat padanya.

     "Eomma, sebaiknya Eomma pikirkan baik-baik. Hanya tempat ini yang bisa kita tinggali. Kalau begitu, biar aku yang membicarakan ini pada pemiliknya dan mencoba bernegosiasi." Kakak menyakinkan, dan aku setuju dengan jalan pikirannya.

     "Tidak, Minhee. Kau tidak perlu melakukannya." Ibu bersikeras mengelak dengan nada bicara yang terdengar sayu. Aku turut prihatin. Meringsut lebih dekat kemudian merangkul Ibu sambil mengelus-ngelus pundaknya. Teh hangat yang diracik sama sekali tidak ditenggakkan oleh Ibu.

     "Tapi Eomma kita kan ...." Kakak menggantung kalimat setelah Ibu menyela dengan mengangkat telapak tangan ke hadapannya.

     Kakak terhenti sejenak, lalu kembali memprotes. "Tapi Eomma ...."

     Kali ini Ibu menyela untuk kedua kali sambil menggeleng kepala. Aku tertegun, tak dapat berbuat banyak untuk mempertahankan pendapat kakak. Bila respon Ibu demikian, itu berarti keputusannya sudah bulat dan kami hanya bisa pasrah menurutinya.

     "Kemana kita akan pindah, Eomma? Kita tak memiliki cukup uang untuk menyewa kontrakan lain." Giliranku yang berbicara, harap-harap cemas sesaat sorot mata Ibu mengarah padaku, memicing tajam.

     "Jihye, jika kau ingin Eomma berkata jujur. Maka jawabannya adalah tidak tahu." Ibu mendesah berat kemudian berpaling dariku sambil menenggak secangkir teh. Ruang keluarga seketika lengang begitu Ibu mengatakannya.

     Kami bertiga bergeming, larut dalam pikiran masing-masing. Mencoba mencari cara, hingga kakak yang termenung, sepuluh detik kemudian menjentikkan jari dengan raut berseri-seri. "Bagaimana jika kita tinggal di rumah peninggalan Appa saja?"

     Sambil menaikkan satu alis, aku bertanya, "Maksud Onnie, tinggal di rumah Harabeoji (kakek) yang pernah Appa bicarakan itu?" Kakak mengangguk mantap. Sementara Ibu menggeleng-geleng kuat.

     "Astaga, Minhee." Ibu mengetuk kepala Kakak sehingga mengaduh kesakitan. "Eomma!" erang Kakak merasa tak diterima.

     "Apapun selain itu. Arraseo (Mengerti?)" Ibu menegaskan kembali yang membuatku tergelak.

     Rumah peninggalan itu sudah lama tidak terpakai, malah beberapa bagian tembok rumahnya sudah dipenuhi lumut dan ditumbuhi rerumputan liar. Kaca jendela saja ada yang pecah dan atap yang menaungi pun tidak ada. Jika kau membayangkan bagaimana bentuk rupanya. Maka penampakannya seperti rumah angker yang biasa ditemui di tengah hutan.

We Come And GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang