17. Adu Debat di Meja Panjang

33 7 0
                                    

- Seungbin

Entah kenapa badan terasa lelah usai menangis sejak dua jam lalu. Sudah lama aku tidak menumpahkan semua kegundahan hati melalui air mata. Rasanya lumayan melegakan daripada dipendam bulat-bulat yang malah membuatku sedikit gila.

Berkat Jihye pula, aku merasakan ketentraman batin di saat pelukan dapat mendamaikan hati yang kusut. Akhirnya aku menemukan orang yang bisa kurengkuh dan senantiasa mendengar keluhanku. Ditambah, seorang yang begitu brilian seperti Jihye lantas turun tangan memberi solusi cerdas.

    Aku menyukainya.

    Lebih tepatnya.

    Menyukai kepintarannya.

Lagi-lagi hal itu terulang tanpa kupinta. Seperti ada kupu-kupu terbang di dalam perut lalu menggelitikku secara agresif. Tanpa sebab, aku tersenyum lebar beberapa centi. Perasaan yang amat menyenangkan. Begitu berselang lama meragukan hati. Lantas menyadari bahwa aku tertarik pada gadis tersebut.

Sial, kenapa kau sangat peka padaku?

     Apa setiap orang selalu mendapat kepekaan darimu sejak pertama, kedua, bahkan ketiga kali bertemu?

Tapi apakah perasaan ini nyata atau halusinasiku saja?

    Ada semacam gejolak dari lubuk hati dan seolah mengirimkan sebuah sinyal akan sesuatu ke otak. Seperti pesan tertentu. Awalnya terasa yakin. Namun, dalam sekejap mata, aku menggeleng-geleng. Kurasa itu rangsangan normal ketika orang lain bersimpati apa yang dialami seseorang sehingga aku tidak mau ambil pusing memikirkan gadis itu.

    Kini, bel untuk kedua kali berbunyi.

    Waktunya makan siang.

    Saat pembelajaran sastra korea berakhir. Semua orang berhambur keluar kelas bagaikan koloni bebek yang lepas dari kandang. Di saat bersamaan ucapan pria berkacamata di depan kelas berkumandang. "Anak-anak! Jangan lupa dengan PR kalian!"

    Satu kelas mengiyakan serempak. Setelahnya pria berkacamata itu menyusul keluar. Aku yang baru bangkit dari kursi, melirik ke arah Namhyuck yang sudah berdiri di tempatnya kemudian melirik ke arah gadis yang menghampiri kami berdua.

    "Kalian mau makan siang bersama?" Jihye menatapku dan Namhyuck bergiliran.

    "Tentu! Ayo, Jihye!" Pemuda tambun di sebelahku berseru keras, membuatku harus menutup telinga sambil mendengus sebal.

    "Kau ikut, Seungbin?" Gadis itu bertanya kembali.

Sejenak aku terpaku menatapnya. Wajah yang tampak putih pucat itu berseri-seri, bibir yang merona terulas membentuk lengkungan, rambut panjang yang kini dikuncir kuda terkibas pelan, mengekspos lekukan leher yang indah. Aku menelan air liur begitu jatuh pada kedua netra kecokelatan yang berkilat-kilat.

"Seungbin? Seungbin?" Jihye melambai-lambaikan tangan. Aku acuh tak acuh, masih terpana dengan presensi di hadapanku. Terutama ketika dia menguncir rambutnya seperti itu. Sejak kapan dia mengubahnya?

    "Seungbin?"

    Astaga, kenapa suaranya begitu lembut mengalun-ngalun di telinga?

    "Hei, Seungbin. Kau tak apa?"

    Lagi-lagi suara itu terasa menyejukkan.

Tak lama gadis itu langsung mendekat. Kedua tangannya kini membelai pipiku lembut. Darahku berdesir-desir ketika dia berjinjit, menyamai tinggi badanku. Lantas wajahnya yang bersinar mendekat ke wajahku.

Jantung berdegup kencang saat bibir yang merona itu menempel ke bibirku. Mata lekas terpejam, menikmati sensasi yang menggigit di sekitar bibir. Hanyut dalam ciumannya yang sangat menggoda.

We Come And GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang