16. Kepekaan Jihye

35 7 0
                                    

- Jihye

    Namhyuck lantas menggeser tubuhnya dan memberikan ruang kosong di tengah-tengah bangku agar aku bisa duduk. Sekilas aku melihat Seungbin menggenggam sebuah cokelat sambil melumatnya agak tergesa-gesa, mungkin dia ingin mengatakan sesuatu setelah itu. Syukurlah, tanpa kuberi langsung dia memakan manisan itu secara sukarela.

    Aku melirik ke arah Namhyuck, pemuda tambun itu menyengir seraya mengacungkan jempol.

    Aku balas tersenyum. Lalu mengucapkan kata terima kasih tanpa mengeluarkan suara. Dia mengangguk sebagai respon. Tidak kusangka pemuda tambun ini benar-benar memberikan cokelat itu pada Seungbin. Untunglah tidak mencari kesempatan dalam kesempitan seperti yang aku asumsikan.

    Kini perhatianku beralih pada pemuda di sebelah kiri, terlihat sedang memakan habis cokelatnya. Aku menatap pemuda itu penuh rasa ingin tahu, membayangkan masalah apa yang akan dibahas. Berselang kemudian, dia menghembus napas gusar lalu bersuara.

    "Sebenarnya bukan itu yang mau kubahas dengan kalian," ujarnya getir.

    "Lalu apa?" Suara Namhyuck menginterupsi.

    Lagi-lagi helaan napas terdengar.

    Kami berdua memberi jeda sejenak. Meluangkan waktu bagi Seungbin untuk meneruskan perkataannya.

    Dia mengalihkan perhatian dari kami berdua lalu menunduk dalam sembari mendesah berat. Ya Tuhan, pemuda dingin ini terlihat sangat menyedihkan sekarang. Sepertinya masalah yang dialami cukup rumit.

    Spontan tangan kananku mengelus-ngelus lengannya. "Seungbin. Kalau kau tidak ingin membahasnya, jangan dipaksakan. Kami bisa menunggu sampai kau merasa siap."

   Pemuda ini mengangkat kepala kemudian menatapku intens.

   "Tidak!" gertaknya membuatku sedikit tersentak.

    Ketika kuperhatikan kedua maniknya sesaat, terdapat cairan bening menggenang di sana. Kedua mata pun memerah.

    "A-aku. A-ayahku," lirih Seungbin agak terbata-bata dan wajahnya kian berubah kalut.

   "Ada apa dengan Paman Han, Seungbin?" Aku lantas menggoyangkan kedua bahunya. Entah kenapa perasaanku mulai tidak enak.

   Dia menatapku dan Namhyuck bergiliran kemudian berkata parau. "Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa pada ayahku."

    Aku mengernyitkan dahi. "Apa?"

   Tak lama berselang, cairan bening membasahi kedua pipinya. Dadaku mulai sesak dan hatiku meringis.

    "Ayahku sakit, Jihye! Beliau mengidap Pneumonia sejak beberapa minggu lalu, dan aku dilarang untuk membantu kesembuhannya apalagi mengatakan hal itu pada ibu dan adikku!" keluhnya terdengar putus asa.

    Air mata pemuda itu mengalir deras hingga suaranya tercekat. "Tolong aku, Jihye!"

  "Gara-gara si berengsek itu. Ayah justru mengancamku dengan memberi tahu rahasiaku kepada Ibu dan Yeonji meski aku tetap membawanya berobat ke rumah sakit," imbuh Seungbin lalu diselingi isakan keras sampai wajah sepenuhnya memerah.

    Aku salah persepsi bila menilai pemuda itu sebagai laki-laki tidak punya hati.

    Sontak air mataku mulai menetes.

    Sebelah tanganku langsung menarik belakang tengkuknya dan menyandarkan kepalanya ke pundakku. Sebelah tanganku yang lain mengusap sebidang punggungnya sampai suara tangis terdengar cukup kencang. Tak lama pinggangku dilingkari kedua lengannya dan mendekapku ketat.

We Come And GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang