11. Gara-Gara Contekan

48 9 0
                                    

- Seungbin

     Aku tidak mengerti, kenapa Jihye ingin mengetahui sesuatu tentangku? Apa tidak cukup satu kali aku memperingatinya? Dan tanpa kusadari dia bertindak jauh seperti itu. Entah mengapa pula, sisi lain hatiku mengatakan bahwa gadis itu bukanlah suatu ancaman besar.

     Ah, tidak mungkin. Bisa jadi dia adalah serigala berbulu domba. Biarpun tampak dari luar wajahnya terlihat polos seperti itu, siapa tahu dia punya niat jahat yang terselubung di dalam dirinya. Ataukah Jihye ingin membalas dendam dengan cara membongkar rahasia itu karena aku telah memarahinya tempo lalu? Kacau sudah.

     Aku melirik ke seberang kiriku, Namhyuck tampak tenang di meja belajarnya sembari menulis yang ada di papan tulis. Sambil berdecih, aku beralih melirik Jihye yang duduk di tengah. Dua meja di depan Namhyuck. Gadis itu tampak membaca buku catatannya dengan takzim.

     Aku mendengus sebal kemudian merotasi sepenjuru kelas, semua murid melakukan hal serupa. Mereka terlihat sangat fokus dengan pembelajaran kali ini. Sementara aku berkali-kali menguap, menopang dagu dengan sebelah tangan di atas meja. Hingga mencuri kesempatan tidur di sela-sela pembelajaran yang berakhir ditegur oleh guru ketika menerangkan materi.

     Aku merasa jenuh dengan pola pengajaran yang diberikan masing-masing guru mata pelajaran setiap kali memasuki kelas. Tidak jauh dari namanya menerangkan materi dan mencatatnya di papan tulis. Paling sering guru-guru menyuruh anak muridnya membuka buku paket lalu menyuruh kami semua membaca di halaman sekian.

     Padahal aku berharap bahwa guru yang berbeda akan membawakan pelajaran berbeda dengan cara yang berbeda pula. Tak pernah sekalipun aku melihat metode pengajaran baru yang jauh lebih mengasyikkan daripada hal sama yang terus diulang seperti ini.

     Kini kedua mata terasa begitu berat setelah menguap berulang-ulang. Seperti ada beban yang tertampu di keduanya. Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak lantaran mimpiku yang diteror satu keluarga karena sudah mengecewakan mereka. Ayah, Ibu, dan Yeonji memasang wajah berang. Dahi tertekuk. Kening mengerut. Alis menyatu.

     Sehingga aku mengelepar-lepar dalam tidur seperti cacing kepanasan yang keluar dari lubang tanah. Lalu saat ini tak peduli kelas masih berlangsung atau tidak, kepala yang lelah tertopang ini sudah lebih dulu jatuh ke permukaan meja. Kemudian memejamkan mata dengan tenteram.

     Saat terlelap sebentar, suasana terasa nyaman karena kelas sedang hening, tidak berisik. Namun, entah kenapa atmosfer di sekeliling terasa begitu dingin hingga suara desauan berat seseorang menari-nari di telinga, tak lama kemudian terdengar suara hentakan yang beradu keras di atas meja, tepat di sisi kiri kepalaku. Lantas aku terperanjat dari posisi tidur. Ketika aku membuka mata dan menengadah siapa pelakunya, seketika pula nyaliku menyiut.

     Pria berkumis lebat yang berdiri di depan mejaku ini berlirih sinis dengan seringaiannya,

     "Bagus. Bagus sekali, Han Seungbin. Di jam mata pelajaranku kau berusaha tidur ya."

     Pak Lim memukul pelan tongkat rotan ke tangan satunya berkali-kali lalu mendekatkan wajahnya ke hadapanku.

     "Padahal sudah saya tegur sejak awal, tapi masih juga tidak mau mendengarkan."

     "Apa kau merasa pintar di kelas ha? Sampai kau tidak mau belajar sedikitpun," ujar Pak Lim merendah sambil berdecak lalu memundurkan wajah ke posisi semula.

     "Kalau begitu, coba kau jawab soal nomor satu dari persamaan dua variabel tersebut," tambahnya lagi seraya mengangkat tongkat rotan dan mengarahkannya ke papan tulis di depan.

     Aku menelan air liur pahit, memperhatikan deretan digit angka dan huruf yang ada di sana. Dalam sekejap, kepalaku terasa pusing. Mengedarkan pandangan ke sekitar, semua pasang mata tengah menatap ke arahku. Guratan wajah mereka terlihat serius. Menanti-nanti agar aku maju ke depan. Begitu pula saat aku melihat Namhyuck dan Jihye. Mereka diam tanpa berusaha memberi bantuan.

We Come And GoWhere stories live. Discover now