07. Dua Saudari, Satu Emosi

66 15 0
                                    

- Jihye

Malam pun tiba. Sedari tadi menunggu, kakak belum kunjung pulang dari kampus. Meski aku tidak terlalu yakin gambaran seminar itu seperti apa, tapi secara logika, kalau kakak seminar pukul delapan pagi seharusnya dia pulang kira-kira pukul dua belas siang. Memakan waktu empat jam saja. Kenapa justru memakan tujuh jam lebih? Akan masuk akal kalau kakak sekalian berkuliah.

Entahlah. Sejak lima menit terakhir, aku menghabiskan waktu di depan televisi bersama ibu. Siarannya hanya itu saja yang ditampilkan. Sangat monoton dan membosankan. Hingga kami memutuskan untuk berbincang. Lalu sampailah kami membicarakan Kak Minhee.

"Eomma, mengapa Onnie mengakhiri hubungannya dengan Park Baekhyun?"

Ibu mendesah pelan. Terdiam cukup lama. Mungkin Ibu mempertimbangkan untuk menjawab pertanyaanku yang agak spesifik. Tak ada alasan khusus aku bertanya. Itu muncul karena aku merasa risau begitu teringat reaksi kakak tadi pagi.

"Seingat Eomma, Minhee pernah bilang kalau hubungan yang mereka jalani cukup rumit. Bukan karena faktor orang ketiga yang menyebabkan hubungan mereka renggang. Melainkan karena ketidakyakinan dari Baekhyun sendiri dan masalah keluarganya. Entah masalah apa yang dihadapi lelaki itu sehingga memilih untuk memutusi Minhee."

Ibu terdiam sejenak. Mengambil napas. Setelah bercerita sesaat.

Dengan khawatir aku bertanya, "Apakah onnie akan baik-baik saja, Eomma?" Ibu berdeham dan memperbaiki posisi duduknya.

"Seratus persen. Tidak. Butuh waktu, luka itu untuk pulih, Jihye. Kau tak akan pernah tahu berapa lama prosesnya. Tergantung seberapa dalam luka itu tercipta."

Aku terhenyak lalu mengangguk paham. Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana rasanya. Yang pasti itulah alasan mengapa Kak Minhee menghindari topik percintaannya sendiri.

"Yasudah. Eomma akan menyiapkan makan malam. Jika Minhee sudah pulang, beritahu Eomma."

Ruang keluarga lengang setelah Ibu beranjak dari sofa, meninggalkanku sendirian di ruang keluarga. Televisi menyala lagi. Kali ini programnya berganti menjadi serial animasi favoritku waktu aku menontonnya sejak masih memakai tv tabung. Sebelas tahun lalu.

Melihat animasi lebah imut bernama Hachi yang terbang dari satu tempat ke tempat lain demi mencari sang ibu, aku jadi teringat ketika ayah masih berada di sebelahku. Beliau selalu menemaniku menonton. Waktu itu usiaku enam tahun.

     Beliau berkata dengan nada lembut, "Jihye, apa kau tahu kenapa lebah kecil itu mencari ibunya?" Aku menggeleng-geleng polos. Ayah tersenyum teduh. Wajahnya kebapakan membuatku terenyuh saat itu.

     Lalu beliau meneruskan perkataannya. "Yaa, karena dia membutuhkan ibunya. Lebah kecil itu tidak bisa hidup tanpa orang yang paling dia sayangi."

     Ayah memegang pundakku. Sorot matanya meredup, tampak berkaca-kaca. Mengulas senyum lebar agak memaksakan. Suara bas miliknya sedikit bergetar menahan sesuatu.

     "Jihye, jika Appa tidak ada. Kau tidak perlu cemas dan mencari Appa ya? Appa yakin kau akan baik-baik saja dan akan menjalani kehidupan yang keras ini seorang diri. Karena Appa tahu, Appa sangat menyayangimu."

     Kemudian ayah menarik tubuhku ke dada bidangnya, merengkuh erat. Menyalurkan kehangatan dan kekuatan.

     Kini, kedua tangan mencengkeram ujung sofa, lantas segera meraih remot, mematikan televisi. Aku meringis lalu tak lama aku menampung wajah dengan kedua telapak tangan. Hatiku terasa sesak begitu mengingatnya lagi. Saat itu aku tidak terlalu menangkap maksud dari perkataan Ayah.

We Come And GoWhere stories live. Discover now