09. Musuh Lama

45 14 0
                                    

- Jihye

Entah mengapa pagi ini terasa sangat cerah dari pagi biasanya. Terutama Kak Minhee yang hari ini tersenyum sangat manis bagaikan seindah mentari pagi. Wajahnya terlihat begitu menyenangkan saat dipandang. Sudut bibirnya terangkat tinggi-tinggi seolah dia tidak lagi merasa ada beban yang perlu dipangkunya.

Terlebih ketika sarapan tadi, Kakak berkali-kali melayaniku bak seorang ratu. Menghidangkan dua porsi roti selai cokelat kesukaanku disertai juga dengan segelas susu, eum bukan, tapi satu botol besar yang dia beli saat shubuh tadi.

Aku menggeleng-geleng kepala atas tindakan yang tidak wajar tersebut dari Kakak. Ibu juga keheran-heranan melihatnya sampai Ibu berkata "Jihye, Eomma tak tahu apa yang kau bicarakan dengan Minhee semalam. Tapi Eomma senang kau sudah membuat mood-nya kembali."

Sesaat aku menyadari bahwa dirinya sudah bisa melepas hal-hal buruk yang telah dia curahkan semalam. Langkah kaki Kakak pun tampak santai begitu beranjak dan pergi ke kampus. Aku tersenyum, usahaku ternyata tidak terlalu buruk.

Hingga beberapa saat kemudian mengumpulkan kesadaran penuh begitu Yeonji yang berada di sebelah menyahut sejak satu menit berlalu.

"Onnie!"

"Ah ... iya."

Aku menoleh ke samping, tampak Yeonji memasang wajah sebal. Ya ampun, mengapa anak ini terlihat menggemaskan ketika sedang marah? Malah dua kuncir kuda yang bergoyang-goyang itu pun menambah keimutannya. Beruntung sekali Seungbin memiliki adik sepertinya.

Asal kau tahu, kami berdua memang sudah sepakat untuk pergi ke sekolah bersama mulai sekarang. Tinggal melambaikan tangan dari depan rumah, (lantaran rumah kami berjarak satu blok saja) Yeonji pun menghampiri ke arahku kemudian berdua berjalan kaki menuju halte terdekat.

"Apa onnie menyimak yang ku bilang tadi?" Aku terkekeh, lalu menggeleng pelan. Dia justru menggerutu.

"Tadi pagi waktu sarapan, aku kaget bukan main melihat wajah oppa separah itu!"

Yeonji berseru tepat di telingaku hingga aku terpaksa menjauhkan kepala dari mulutnya. Keningku lantas berkerut. Mencerna perkataan Yeonji barusan. Sesaat aku memelotot ngeri.

"Seungbin? Ada apa dengan wajahnya?"

Yeonji menghela napas lalu berujar, "Ada satu luka lebam pada kelopak mata kanan. Satu pada bagian rahang kiri. Lalu satunya di bawah dagu. Saat aku bertanya padanya kenapa bisa begitu? dia tidak menjawab. Diam saja. Eomma juga direspon begitu. Lalu Appa ..."

Yeonji menahan kalimat di ujung cukup lama sehingga memancingku untuk mendesaknya agar dia dapat menyelesaikan perkataannya tersebut.

"Paman kenapa, Yeonji?"

"Gelagat beliau tak seperti biasanya. Beliau tak bertanya apapun kenapa wajah oppa bisa seperti itu, onnie. Dan itu agak aneh," kata Yeonji sambil meringis lalu mendesah setelahnya.

"Seungbin ... dia tidak sekolah hari ini?" tanyaku.

Yeonji menggeleng lemah. "Oppa hari ini tetap masuk. Dia pergi lebih awal."

Fakta tersebut cukup untuk membuatku berhenti bertanya lebih lanjut. Membiarkan keheningan di antara kami yang diisi dengan suara klakson mobil yang bersahut-sahutan dari seberang jalan sana, dan suara desiran lembut dari angin yang menggetarkan dedaunan pohon di tepi trotoar.

Halte bus pun tinggal beberapa meter di depan. Kami berdua mempercepat langkah, sebelum bus tiba lebih dulu. Begitu sampai di halte, mungkin Seungbin sudah berada di sekolah sekarang dengan menaiki motornya.

We Come And GoTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon