1. Light

115 16 2
                                    

Hari Senin, hari pertama yang mengawali setiap minggu di hidup setiap orang. Banyak orang yang mewanti-wanti buat memastikan Seninnya baik-baik saja. Karena kacaunya hari Senin, akan berimbas pada hari-hari selanjutnya di sepanjang minggu tersebut. Tapi inilah seorang Wendi, sepagi ini cuma bisa mendumel karena ulah seorang bujang berumur 25 tahun.

"Wisnu Mahardika kalau lima menit lagi gue lihat lo masih main game dan nggak ganti baju juga, gue tinggal."

Titahnya cuma ditanggapi dengan anggukan oleh pria bujangan yang sejak tadi masih bermain game di hpnya itu. Dia lalu mendongak sebentar, sambil melahap roti lapis selai coklat di tangan kirinya. Pandangan dia mengarah ke jam dinding yang tepat berada di belakang kepala kakaknya itu. "Jarum panjangnya di angka 3, gue ganti baju,"

Wendi hanya bisa memutar bola matanya, dengan malas ikut melihat jam dinding yang menunjuk pukul 6.05 pagi. "Pokoknya 6.30 gue berangkat. Kalau nggak, bodo amat naik ojek aja sana ke stasiun,"

"Kakak kan lama dandannya. Mending dandan dulu sana. Gue tinggal ganti baju doang sama sisiran nggak kayak kakak yang kudu ikut 5 step skincare,"

Wendi hanya melengos sambil membenahi barang bawaannya dan mulai mengoleskan toner di wajahnya. Satu dua pesan sudah mulai masuk di email-nya dari kantor pusat kantornya di Seoul, menandakan mereka sudah memulai harinya dan Wendi harus segera bersiap.

Serpong di hari Senin.

Chaos.

Berulang kali Wendi mengumpat pada pengemudi sepeda motor yang nekat menyalip dengan jarak super tipis disamping mobilnya. Jarak 5 cm lagi bisa-bisa ia harus berurusan lagi sama bengkel untuk ngurusin spion.

Wisnu yang duduk disampingnya hanya tertawa kecil sambil tangannya masih fokus dengan game. "Kak, gimana mau menghadapi kehidupan kalau baru aja lima belas menit jalan, lo udah ngeluh mulu,"

"Diem gak? Rese banget tiap hari Senin kayak gini nih!" serunya sambil kembali memencet klakson ketika ada pengemudi sepeda motor lagi yang tiba-tiba rem mendadak di depannya. "Anjir orang-orang pada kebelet apa kenapa sih?"

"Sabar kak sabar. Baru gini aja marah, belum aja lu disalip orang rebutan tempat duduk di krl,"

"Makanya gue ogah kerja di Jakarta. Eh turun agak depan aja ya? Padet nih."

"Kak ih turun di depan tukang batagor!"

"Wisnu, nggak lihat itu udah padet banget--"

"Kak, lo tega kalau adik kesayangan lo lapar pas nunggu kereta? Kalau gerd gue kambuh gimana? Kalau gue pingsan dan nggak bisa dihubungi lagi gimana?" ucap pria umur 25 tahun itu sambil matanya mengerjap-ngerjap ke arah Wendi yang tersenyum kecut.

"Fine, gue berhenti di tukang batagor!"

Anak itu cuma nyengir lalu turun dengan sigap begitu Wendi berhasil meminggirkan mobil setelah bersusah-payah. "Thank you kakak cantikku! Cari uang yang banyak ya!"

"Telepon kalau udah sampai Palmerah. Awas loh ketiduran lagi sampai Tanah Abang!"

"Siap!" seru Wisnu sambil berjalan penuh hati-hati di tengah lautan manusia.

Setelah setengah jam menahan emosi dan menahan tekanan darah untuk tetap normal akhirnya ia berhasil masuk ke pekarangan parkir di kantor yang telah memberinya makan selama 5 tahun kebelakang itu. Ia bergegas masuk sambil menyapa beberapa orang yang bercengkrama di dekat lobi, membicarakan bagaimana mereka menghabiskan weekend mereka.

Ruangan dengan penuh kubikal yang dikelilingi sejumlah kalimat motivasi dan poster produk itu terlihat lengang dan hanya terisi satu atau dua orang. Wendi masuk sambil menyapa 1 2 orang disana dan langsung menuju mejanya yang sudah penuh oleh beberapa sampel produk dan material serta dokumen pendukungnya. Beberapa orang berangsur datang, membuat aroma kopi menyeruak dari masing-masing orang yang membawanya.

Into The Light (Seungwoo X Wendy) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now