23. Time of Sorrow

62 13 5
                                    

Kepala Sakti yang sejak tadi sudah gontai, akhirnya terangkat ketika Juna mendatanginya di kafe seberang pabrik mereka itu. Juna dengan es Americano di tangannya, bergegas duduk disamping pria yang sejak tadi tertunduk lesu sambil duduk mengarah ke jalan raya yang masih sibuk padahal sudah pukul 8 malam.

Laptop Sakti yang masih menyala itu perlahan ditutup oleh Juna karena percuma juga menyala tapi dianggurin pemiliknya. Sakti hanya menatap lesu pria disampingnya, sambil menghirup lagi Americano hangat di tangannya.

"Lagian sih Bro, ganti kek namanya," keluh Juna begitu Sakti selesai menceritakan semua dari sisi dirinya. Selama ini Juna hanya mendengar versi Wendi, itu pun lewat Wisnu yang tidak begitu lengkap. Dan sudah hampir seminggu setelah kejadian itu, namun Wendi tidak juga mau bercerita padanya, jadi Juna menyimpulkan memang gadis itu masih sedikit terluka.

"Apa emang lo belum lupain dia?"

Sakti tertawa miris. Satu minggu tanpa senyuman Wendi benar-benar menghabiskan tenaganya. Senyumnya dipaksakan, padahal matanya sayu karena kurang tidur. "Nggak tahu deh, gue juga ngerasa bego,"

"Gue jujur emang sempet penasaran lagi sama Shila kemarin. Gue datengin kafe dia, gue whatsapp lagi dia. Di momen pas gue tersadar kalau itu salah, eh ada kejadian ini," tukasnya kembali.

Juna menghela napasnya sambil menggeleng-geleng perlahan. Pandangannya kini ikut mengarah keluar jendela, mengikuti pandangan Sakti yang masih termenung. Ia mengaduk-aduk gelasnya sendiri karena bingung dengan situasi ini.

"Gue tuh nggak tahu bakal bawa Wendi kemana. Gue nggak pernah bisa yakin. Bener nggak nih? Yakin nggak nih? Sedetik kemudian gue bisa yakin tapi sedetik lagi gue ngerasa ini nggak bener,"

"Kayak kalau lo yakin harusnya lo nggak bertanya-tanya lagi. Gitu kan?" celetuk Juna yang langsung membuat Sakti mengangguk cepat.

"Iya. Lo ... gitu nggak sih sama Sekar?"

"Nggak tahu, gue kan cuma pacaran sama Sekar seumur hidup gue. Jadi nggak tahu rasanya punya mantan yang ketemu lagi setelah sekian lama," sahut Juna sambil tergelak.

"Sialan. Iya juga sih," ucap Sakti sambil manyun, "Oke gini ... pas lo yakin sama Sekar, lo pasti udah nggak pingin cari tahu hal lain kan?"

Raut wajah Juna sedikit ragu, namun kemudian ia mengangguk. Sakti kemudian menyahut kembali, "Nah hati gue tuh ... nggak. Gue kadang masih berpikir keputusan gue benar nggak ya? Kalau gue end up jadi bosan sama dia gimana ya? Atau parahnya gue nantinya ketemu yang lebih baik lagi gimana ya?"

Juna menghela napas sambil tubuhnya kini ia hadapkan untuk mengarah ke lelaki itu. Tampangnya lebih serius. "Nggak munafik kalau gue ada lah sekali-sekali lihat cewek cantik lalu penasaran. Tapi pas ketemu Sekar lagi, gue langsung buang jauh-jauh perasaan gue," sahut Juna sambil menyeruput kembali es kopinya

"Karena gue udah komitmen, Bro. Yang cantik, yang bikin tertarik, pasti banyak banget lah gila, cewek di dunia aja ada berapa milyar? Yang cantik dan menggoda udah nggak keitung berapa banyak,"

Sakti tertegun mendengar kata itu. Komitmen. Sesuatu yang mungkin terdengar seperti hal sepele tapi sampai detik ini, ia tidak pernah berpikir dalam-dalam soal hal itu. Ia pikir komitmen hanya akan mengalir adanya seiring dengan berjalannya waktu.

Mungkin ia keliru.

"Komitmen itu sesuatu yang lo harus usahain juga dari diri lo. Lo nggak bisa juga nyalahin cewek lain yang cantik-cantik itu atas kandasnya hubungan lo. Kalau lo sudah berusaha komitmen, mau lo dikasih Miss Universe juga nggak bakal mempan, Bro,"

Juna perlahan menepuk-nepuk bahu pria disebelahnya yang sudah entah berapa senti turun itu. "Apalagi kalau lo udah berjanji di hadapan Tuhan. Ujiannya bukan cuma soal wanita cantik, tapi ada pada hati lo yang mau tetap setia atau nggak,"

Into The Light (Seungwoo X Wendy) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now