28. Howling

121 9 8
                                    

Menikah.

Hanya satu kata namun begitu banyak menimbulkan tanya.

Apakah setiap manusia memang harus melewati fase itu?

Apa manusia benar-benar harus terikat seumur hidupnya hanya dengan satu orang?

Apa diriku siap?

Wendi meniriskan piring terakhir yang ia cuci pagi itu. Menutup keran selagi melengos dan mengusap tangannya yang basah pada salah satu waslap kering di dekat wastafel.

Sambil duduk di salah satu kursi santai dekat gazebo villa itu, ia menyesap teh hangat pertamanya di pagi hari itu. Beberapa menit hanya keheningan menghampirinya, diselingi suara-suara alam seperti burung berkicauan dan suara riak air kolam ikan yang bersebelahan dengan gazebo.

Suara derit pintu villa yang terbuka menghentikan setiap keheningan di rumah itu. Derap langkah Jihan yang gontai mengikuti setelahnya.

Ia kemudian ikut duduk di samping Wendi, membuat Wendi yang sedang selonjoran hanya bisa tersenyum melihat temannya dengan setumpuk kantung mata itu melengos. 

Matanya menatap nanar ke arah kolam ikan besar di dekat gazebo. "Gara-gara ini kolam, anak-anak nggak ada yang mau tidur cepet. Pening banget!"

Wendi hanya tersenyum tipis, "Sekali-sekali laaah Tara sama Tasya lihat kolam ikan gede. Biasanya cuma aquarium kaca kan,"

Jihan menyilangkan kedua kakinya di kursi santai itu sambil menatap Wendi yang hanya menatap kosong ke arah bukit yang terpampang di belakang villa sewaan mereka itu.

"Lo gimana kabarnya? I am sorry to hear about Sakti."

Wendi menggeser tubuhnya untuk bisa menghadap ke arah Jihan, tersenyum samar. "Udah nggak apa-apa kok,"

"Terus sekarang sama Seno gimana?"

Wendi sudah tidak takjub lagi dengan kemampuan membaca pikiran milik Jihan. Seakan tahu isi hatinya yang ga karuan saat ini. Bibirnya menyungging senyum datar sambil mengangkat bahu.

Dahi Jihan mengernyit, "Lah? Jangan bilang setelah lama lo ngejar dia, sekarang malah ga se-excited dulu setelah sama dia?"

"Nggak lah. Hati gue kadang masih kayak berasa ada kupu-kupu kalau habis tatapan sama dia,"

"Idihhh kayak anak muda ajaa!" seru Jihan sambil menepuk-nepuk bahu Wendi dengan sumringah, "Tapi sumpah ya kalau kalian beneran sampai nikah, kayaknya gue jadi bisa percaya kalau cinta pertama juga bisa kesampaian,"

Wendi tenggelam dalam tawanya, "Drama banget,"

"Eh iya loh! Kadang-kadang nih, gue masih suka mimpi gimana rasanya kalau gue dulu jadinya sama Edgar, mantan gue itu,"

"Bukannya gue nggak bersyukur atas adanya Bapaknya Tasya sama Tara, ya. Gue cuma kadang lupa rasanya jatuh cinta tanpa mikirin masa depan. Cinta pertama kan gitu. Yang lo bilang perut lo kayak ada kupu-kupunya lah, banyak gombalnya lah," lanjut Jihan berapi-api tapi diakhiri dengan helaan napas.

"Begitu sekarang, yang gue obrolin sama suami ya kalau nggak biaya listrik yang naik, cicilan rumah yang makin naik aja bunganya, atau ya ngomongin biaya sekolah anak-anak,"

Wendi menatap Jihan sambil ikut menghela napas. Di usia sekarang, obrolan soal cinta memang tidak mudah. Beda dengan ketika mereka masih sekolah dahulu. Manis rasanya. Setiap hari ada saja yang membuat hari berwarna-warni apalagi kalau hendak bertemu pujaan hati.

Cinta di usia mereka sekarang adalah tanggung jawab. Komitmen. Ada warna-warna berbeda yang kini juga terselip rasa tanggung jawab atas apa yang mereka jalani sekarang.

Into The Light (Seungwoo X Wendy) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now