Mia & Johan - 04

4.7K 286 55
                                    

Suasana villa milik Johan rupanya lumayan juga, bukan, malah sangat asri. Sebelah kanan villa terdapat kebun daun bawang yang daunnya sangat segar dan besar-besar. Sebelah kirinya ada kebun kubis yang mekar sangat besar, sudah siap untuk dipanen. Di depannya, ada pepohonan hijau dengan gemericik air parit yang sangat jernih, terlihat segar dan menyejukkan.

Rasa-rasanya, Mia bakal betah tinggal di tempat sesejuk ini seumur hidupnya. Butuh sayuran tinggal cabut dan petik, tidak pusing harus belanja ke supermarket atau ke pasar. Bahkan beberapa meter dari villa ini terdapat rumah makan sederhana yang menjual lauk dan sayur jika Mia sedang malas memasak. Sangat komplit, kan? Tapi kekurangannya hanya satu, tidak ada mall. Hanya ada beberapa supermarket yang tidak terlalu besar.

Mia sudah mengecek dapur sejak ia bangun satu jam lalu, tapi sayang, di dapur villa ini masih kosong melompong. Johan sepertinya memang belum sempat membereskan dan menyiapkan villa ini secara penuh karena keburu ingin menunjukkan padanya.

Dengan meraih kardigan berwarna lilac, Mia lantas berjalan menuju rumah makan yang cukup ramai pagi ini, berniat membeli beberapa lauk dan juga sayur untuk sarapan. Sepanjang ia berjalan kaki, sapaan ramah warga terus saja datang silih berganti untuknya, sangat ramah dan juga kekeluargaan.

Ketika sampai di rumah makan, Mia sudah harus antri karena banyak juga warga yang ingin membeli sarapan. Dengan sabar, Mia antri setelah sebelum nya mampir ke pedagang gorengan di samping rumah makan dan memesan mendoan serta tahu isi bihun.

"Mbak nya mau pesan apa Mbak?" Kepala Mia celingak celinguk memindai deretan sayur yang terpajang di rak kaca.

"Saya mau sayur kikil, oseng usus, perkedel, sayur kacang, sayur telur puyuh masing-masing lima ribu ya Bu. Oh nasi nya dua bungkus ya Bu." Sang pemilik warung mengangguk dan dengan cekatan segera membungkus pesanan Mia.

"Mbaknya baru di sini ya? Saya kok nggak pernah lihat Mbak selama ini." Mia tersenyum mendengar pertanyaan sang Ibu pemilik rumah makan dan lantas mengangguk.

"Iya Bu. Saya baru semalam sampai di sini. Baru beli rumah yang di dekat kebun kubis itu." Si Ibu manggut-manggut paham dan segera menotal semua pesanan Mia yang hanya menghabiskan uang sebesar tiga puluh lima ribu. Murah sekali, kan? Porsi nya jangan ditanya. Sangat banyak untuk ukuran harga merakyat seperti ini.

"Selamat datang ya Mbak di desa ini. Semoga betah. Kapan-kapan beli lagi di sini." Kelakar si Ibu pemilik rumah makan. Mia tertawa dan menyanggupi, sebelum akhirnya pamit untuk kembali ke rumah.

Kaki jenjang Mia melangkah ringan dengan mata yang tak henti menikmati keindahan alam berselimut kabut pagi ini. Sungguh, jika seperti ini, enggan rasanya Mia untuk kembali ke kota yang panas dan sumpek jika tidak ingat akan pendidikannya.

Mia mempercepat langkah kakinya saat sampai di halaman rumah dan menemukan Johan sudah berdiri di teras dengan raut cemas. Lelaki itu juga segera mempercepat langkahnya untuk menyongsong dirinya masuk ke dalam dekapan hangat lelaki itu.

Mia menikmati deru napas memburu Johan dan juga kecupan demi kecupan di puncak kepalanya. "Kamu dari mana aja, sayang? Papa cari sampai ke kebun kok nggak ada."

Jemari lentik Mia mengusap lembut dada bidang Johan, berupaya menenangkan sang kekasih yang sedang diliputi rasa cemas. "Maaf ya Pa, tadi Mia pergi ke sana buat beli makan. Nih, Mia beli nasi sama sayur buat kita sarapan. Masuk yuk?"

Johan menarik napas lega dan menangkup wajah Mia dengan tatapan serius. "Lain kali, kalo kamu mau pergi, bilang dulu sama Papa ya sayang? Jangan nyelonong kaya gini. Meskipun dekat, tapi lokasi ini masih baru buat kamu. Jangan gegabah, oke?" Demi melegakan Johan yang memang terkenal sebagai Mister Panik, Mia memilih mengangguk, menyanggupi permintaan kekasihnya yang protektif ini. Mereka lantas segera memasuki villa dan membuka berbagai macam lauk yang sudah Mia beli sebelumnya beserta gorengan mendoan dan tahu isi bihun.

"Kok banyak banget belinya? Ini yakin bakal habis?" Tanya Johan ketika melihat porsi makan yang dibeli kekasihnya.

"Pasti habis, Pa. Percaya deh, di cuaca dingin itu cenderung bikin kita cepet laper, jadi buat jaga-jaga aja sampe siang nanti. Tinggal dibeliin nasi lagi aja."

Johan menerima uluran nasi dan sayur yang berjejer di hadapannya. Ia menuang sedikit sayur kikil, perkedel, dan juga sayur kacang ke atas nasi nya, tak lupa dengan mendoan hangat yang harum.

Mia yang setelah mengulurkan nasi untuknya segera ke dapur, entah sedang apa, kini kembali dengan membawa dua gelas teh tubruk manis hangat. "Ini teh nya Pa. Biar anget."

Johan tersenyum menerima uluran teh tersebut. Meskipun Mia masih belia, rupanya Mia sudah luwes juga berperan seperti istri yang melayani suaminya. Di kepala Johan, sudah terbayang seperti apa gambaran kehidupan pernikahan mereka nantinya. Dan hal itu tak luput membuatnya tersenyum sumringah. Ia menyantap lahap sarapannya hingga tandas tak bersisa, pun dengan segelas teh hangat yang ludes masuk ke dalam perutnya.

Mia sendiri segera membungkus kembali sayur-sayur yang sisa dan di masukkan ke dalam satu plastik yang sama. Ia menyusul Johan yang duduk santai di teras belakang rumah, menikmati hamparan kebun-kebun milik penduduk dari jarak kejauhan. Ia segera menduduki paha Johan dan menduselnya manja, di sambut senang oleh lelaki pertengahan empat puluhan itu.

Mereka duduk dengan saling mencium bibir satu sama lain. Johan juga tak lupa membelai lembut punggung halus Mia dari dalam pakaian tebal yang digunakan gadisnya pagi ini. Ia melepas kait bra yang digunakan Mia dan merambatkan tangannya menuju ke bagian depan dada montok kekasihnya. Dan senyum nya merekah saat mendengar lenguhan Mia yang sensitif karena sentuhan di puting nya.

"Enak, sayang?" Tanya Johan jahil. Padahal tanpa ditanya pun ia jelas tahu kalau Mia menikmati permainan jemarinya di payudara gadis itu.

"Ngghh, a-apa Masih perlu ugghh... ditanya lagi?" Tukas Mia cemberut, namun tetap merintih ketika Johan semakin intens meremas payudaranya. Johan terkekeh dan sedikit meninggikan posisi Mia untuk ia raup payudara seksinya itu dalam satu sesapan kuat, semakin memancing rintih kenikmatan yang dirasakan Mia.

"Akkhhh, lagi, Pa." Pinta nya manja. Johan tentu saja tak akan menolak permintaan itu. Dengan semangat, ia lantas menggendong Mia ala koala untuk membawa kekasihnya menuju kamar mereka, melanjutkan apa yang sudah mereka mulai sebelumnya tanpa takut di tatap oleh orang.

"Kita ke kamar ya sayangku."

Yuk 100 vote dan 50 komentar untuk next chapter dear.

17 Oktober 2021

Hitam dan PutihWhere stories live. Discover now