Mia & Johan - 11

2.6K 182 9
                                    

Rutinitas malam hari sebelum tidur sudah Mia lakukan, seperti cuci muka dan tangan, rangkaian perawatan kulit malam, dan juga doa malam. Entah kenapa, sejak ia pulang dari rumah Johan beberapa jam lalu, ada satu rasa mengganjal yang cukup membuat dirinya gelisah bukan kepalang.

Ucapan Johan mengenai Elvan yang masih mencari kebenaran akan perceraian kekasihnya dengan sang mantan istri jujur saja berdampak cukup hebat untuk hati Mia. Ia merana tentu saja. Usaha nya untuk mengambil hati Elvan masih butuh lebih keras jika sampai saat ini putra dari kekasihnya itu masihlah tidak bisa menerima, atau setidaknya sedikit legowo dengan keputusan Papa Mama nya.

Bukan maksud Mia untuk meminta Elvan lupa akan sosok Mama nya, namun keinginannya hanya sederhana, yaitu bisa menerima sedikit saja kehadirannya.

Hela napas berat terembus dari bibir Mia. Sudahlah. Ia capek. Hari sudah malam, dan dirinya masih butuh istirahat untuk menghadapi kelas pagi esok hari. Ketika ia bersiap menaiki ranjang, ketukan pintu terdengar pelan sebelum akhirnya pintu tersebut dibuka perlahan. Rupanya Mama lah yang mengetuk pintu kamarnya.

"Sayang, udah tidur?"

"Belum kok Ma. Baru mau tidur. Ada apa Ma?"

Mama duduk di tepi ranjang Mia dan tersenyum sembari mengulurkan segelas susu vanila hangat ke arah sang putri. "Minum dulu ya. Kamu belum tidur jam segini, pasti lagi susah tidur, kan?"

Mia nyengir dan lantas menerima uluran gelas berisi susu dari Mama. Ia meneguk perlahan susu hangat bertabur remahan oreo itu dengan nikmat. Memang ya, oreo dan susu itu tidak pernah salah ataupun gagal. Campuran rasa manis, gurih, dan sedikit pahit merupakan kombinasi yang sempurna untuk segelas susu, baik hangat maupun dingin.

"Makasih ya Ma. Selalu enak." Ucap Mia dengan senyum lebar nya. Sang Mama terkekeh dan menyeka sudut bibir Mia yang terdapat noda putih sedikit kehitaman, campuran susu dan juga oreo.

"Gimana kuliahnya nak? Lancar? Butuh Mama carikan mentor nggak?"

Mia menggeleng mantap ketika mendengar usulan Mama yang hendak mencarikannya mentor. Ia sudah merasa cukup menilik nilai-nilainya yang tidak pernah kurang dari nilai B. Itu sudah nilai yang sangat baik di semester tua seperti ini yang mana materinya pun makin sulit untuk dipahami.

"Kayanya Mia belum butuh deh Ma. Nilai-nilai Mia masih bersaing kok. Nggak pernah C atau D. Paling apesnya B. Udah cukup bagus kan Ma?"

Mama mengangguk bangga dengan pencapaian Mia meski putrinya itu sudah memasuki semester tua. "Udah sangat bagus, sayang. Mama bangga sama kamu." Pujinya pada sang putri. Mia tentu saja senang sekali mendengar pujian itu. Terkadang banyak orangtua yang selalu menuntut pada anak, namun lupa untuk memberikan apresiasi jika anak tersebut pada akhirnya mampu memenuhi ekspektasi mereka. Sudah lupa memberi apresiasi, mereka justru terus mendorong anak mereka untuk bisa meraih prestasi yang lebih baik dari pencapaian terakhir. Sungguh malang nasib anak-anak yang memiliki tipikal orang tua seperti itu.

"Ehmm, Mama mau tanya sesuatu sama Mia. Boleh?"

Mia tersenyum dan mengangguk. "Boleh dong Ma. Emang nya Mama mau tanya apa?"

Mama mendekat dan meraih tangan Mia untuk ia genggam sebelum mengajukan tanya hal yang cukup mengganggu benaknya.

"Mia udah punya pacar ya nak?"

Kening Mia berkerut bingung. "Emang kenapa Ma? Kok tiba-tiba nanya hal kaya gitu?"

Deham canggung keluar dari bibir Mama yang cukup bingung hendak bertanya lebih lanjut seperti apa untuk mengonfirmasi praduga nya. "Tadi Mama lihat kamu turun dari mobil cokelat waktu pulang."

Hitam dan PutihWhere stories live. Discover now