Mia & Johan - 18

3.5K 155 4
                                    

"Papa tuh ngapain sih pake nahan Mia segala? Harusnya tadi Mia bisa ngasih pelajaran ke mulut ember mereka! Paling nggak, siram pake air susu deh biar nggak cuma muka aja yang glowing, tapi bibirnya sekalian."

Johan sejak tadi hanya diam mendengarkan ocehan Mia yang tak putus karena geram dengan obrolan pengunjung di kedai susu tadi mengenai hubungan mereka. Selain karena tak ingin membuat Mia bertambah badmood, alasan lain ia membiarkan Mia mengoceh tentu saja karena ia rindu akan kecerewetan Mia.

"Sayang, kalo kamu ngasih pelajaran ke mereka, terus apa yang kamu dapet? Puas? Yang ada, kamu makin dicerca yang nggak-nggak sama mereka. Biarin mereka mau bicara apapun tentang kamu, tentang kita, karena kita cuma punya dua tangan buat nutup telinga dari omongan-omongan nggak benar mereka." Tukas Johan ketika dirasa Mia mulai lelah mengomel.

Hembusan napas panjang terdengar cukup keras di suasana hening mobil yang dikendarai keduanya. Mia membenarkan apa yang diucapkan oleh Johan. Tapi sebagai manusia, insting melindungi diri memang secara alami akan muncul disaat ada orang yang berupaya untuk mengusik ketenangan. Dan hal yang lumrah kalau menilik reaksi menggebu dari Mia yang kesal dengan ocehan tak bertanggung jawab orang-orang asing itu.

"Papa bener." Ujarnya lesu. "Tapi seenggaknya, aku bisa paling nggak menyelamatkan harga diri aku, Pa. Aku nggak menyangkal kalo aku pacaran sama laki-laki yang jauh lebih dewasa dari aku. Tapi tuduhan mereka yang bilang kalo Papa itu sugar daddy lah, aku yang cuma mau duit Papa lah, itu sama sekali nggak bener. Kalo aku emang matre, udah dari dulu aku minta penthouse 5M kaya yang lagi viral itu sama sekalian minta di ajak plesiran ke Turki. Kalo perlu minta beliin mobil Tesla juga."

Johan mengerti. Sangat mengerti kalau semua efek samping dari hubungan beda usia mereka lebih berat dirasakan oleh Mia yang selalu dijadikan sasaran negatif oleh khalayak ramai yang suka berspekulasi seenaknya sendiri. Namun baginya, cibiran itu hanya salah satu dari sekian banyak ujian yang nantinya akan mereka terima dan rasakan. Dan Johan ingin Mia memiliki pengendalian diri yang kuat, bisa membedakan mana yang harus dilayani dan mana yang harus didiamkan tanpa arti.

"Sayang." Johan meraih tangan Mia untuk ia genggam lembut dan ia kecup dengan sayang. "Ini semua cuma kerikil buat perjalanan cinta kita ke depannya. Ke depan, bakal banyak cobaan yang pasti lebih berat dan lebih menguras emosi ketimbang kerikil kecil kaya gini. Papa berharap kamu bisa lebih mengendalikan emosi. Kamu harus bisa memilah mana yang harus kamu acuhkan dan mana yang harus kamu selesaikan. Hubungan kita nggak salah. Kamu lajang, Papa juga lajang meskipun statusnya duda. Hanya pandangan masyarakat yang salah tentang hubungan kita yang nggak biasa ini."

Mia menyenderkan kepala ke sandaran jok, menelengkan kepala untuk menatap lamat adonis di sisi kanannya. Kalau saja Mia bisa meminta, tentu ia ingin dilahirkan lebih cepat dua dekade agar bisa pantas bersanding dengan Johan yang dalam segala sisi sudah begitu on track. Meski dirinya lebih muda dan sering disebut-sebut orang sebagai pemegang kendali sebuah hubungan, namun kenyataannya, Mia selalu memiliki rasa insecure nya sendiri yang tak pernah diketahui oleh siapapun. Bagi Johan, mencari wanita adalah suatu kemudahan layaknya seseorang yang berganti pakaian. Rasanya tidak ada kaum hawa normal yang menolak pesona seorang Johan Agusta, si duda mapan nan tampan.

Dirinya hanya menang dari segi usia. Lainnya? Nol besar. Itu sebabnya Mia acap kali panik kalau ada wanita genit yang mencoba mendekati kekasihnya. Ataupun panik di saat Johan merasa marah atau tersinggung ketika ia sedang dalam mode ngambek kekanakan. Hubungan ini rasanya tidak mudah dan sangat melelahkan. Tapi untuk melepas ikatan, Mia jelas tak akan pernah mau, kecuali lelaki itu sendiri yang mencampakkannya.

"Hubungan kita ini melelahkan ya Pa. Ini salah, itu masih keliru. Seolah nggak ada hari tanpa pikiran." Keluh Mia tanpa sadar. Tubuh Johan menegang saat mendengar keluhan yang terlontar dari bibir Mia. Apa ini? Apakah Mia mulai lelah dengan hubungan mereka?

"Kamu...capek?"

Mia menatap Johan dan mengangguk mantap. "Siapa yang nggak capek sih Pa? Semua orang yang menilai hubungan beda usia itu stigma nya miring. Mau sebodo amat gimana pun, Mia tetep manusia biasa yang sering over thinking tiap dengerin pendapat orang. Semua stigma itu juga jatuhnya jadi menyudutkan Mia." Papar Mia lugas. Namun ketika menyadari tubuh tegang dan wajah pucat Johan, Mia tak mampu menahan kuluman senyumnya sendiri. Dengan lembut, ia berbalik meraih tangan Johan dan mengecupnya pelan. Mia menggesekkan pipinya pada punggung tangan Johan yang memiliki bulu cukup lebat itu dengan manja. "Tapi mau secapek apapun, Mia nggak akan mungkin melepaskan kita, Pa. Mia udah terlanjur bergantung, terikat, sekaligus terjerat sama pesona duda tua di samping Mia ini."

Tubuh Johan bak disiram es rasanya. Lega dan menyejukkan. Jujur saja, ia sudah ketakutan kalau Mia meminta break, atau parahnya sampai minta putus, sedangkan dirinya sudah kecanduan parah dengan kehadiran Mia dihidupnya serta di hidup putranya. Bisa apa dirinya tanpa Mia?

"Thank God, kamu nggak bicara aneh-aneh dan nyebutin kalimat laknat yang paling Papa benci." Bisiknya tercekat penuh kelegaan. "Papa nggak mau kita selesai, sayang. Yang Papa mau, semisal kita selesai pun karena pada akhirnya kita menikah, bukan putus."

"Putus? Nggak lah." Geleng Mia horor. "Bayangin Papa dimilikin perempuan lain aja rasanya Mia nggak sanggup. Apalagi kalo itu sampe beneran kejadian. Bisa-bisa Mia datengin Mbah Dukun buat ambil Papa lagi." Gerutunya menahan rasa kesal karena bayangannya sendiri.

Johan mengulum senyum dan segera menarik tengkuk Mia untuk ia cecahkan sebuah kecupan manis di bibir kekasihnya. "Apalagi Papa. Bisa-bisa laki-laki yang deket sama kamu Papa hajar dan bunuh mereka semua. Enak aja mau ambil punya nya Papa. Langkahin dulu mayat Papa."

Kedua nya saling pandang dan tak lama tawa menguar dari bibir mereka. Geli dengan pikiran absurd mereka sendiri.

"Jangan pernah kepikiran yang kaya gitu lagi ya sayang." Pinta Johan usai tawa mereka reda. Mia menyunggingkan senyum dan mengangguk.

"My bad. Mia pasti lagi ngelindur tadi. Maafin Mia ya Pa. Kadang pikiran sama mulut emang segitu nyablak nya kalo lagi tertekan."

"Mulai sekarang, kita belajar sama-sama ya buat mengendalikan diri. Termasuk emosi dan perkataan. Papa nggak selamanya benar, dan kamu juga nggak selamanya akan terus emosian. Kita bertumbuh bersama jadi pribadi yang lebih baik lagi ya sayangnya Papa. Tegur kalau ada salah, dan apresiasi kalau benar."

"Sure. Why not? Bertumbuh bareng sounds great."

TBC

Akses cepat hitam putih sudah tamat lho dear. Yang berminat, bisa banget hubungi no whatsapp 083103526681 untuk membeli novelnya secara lengkap dengan harga Rp 45.000.

Opsi pembayaran bisa melalui tf rekening bca, dana, gopay, ataupun shopeepay. Yang berminat, yuk cus segera order🤗

Hitam dan PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang