Mia & Johan - 17

1.9K 165 5
                                    

"Jadi, mahasiswa kelas kamu bicara apa aja sampai bisa bikin kamu uring-uringan gini?"

Mia mendesah dengan mulut yang masih mengunyah pisang aroma topping keju susu yang tadi sekaligus ia pesan bersama susu melon dan susu murni untuk Johan.

"Ya kurang lebih sama deh kaya omongan Papa waktu itu ke Pak Doni. Memanfaatkan. Yang muda memanfaatkan materi, yang tua memanfaatkan buat pelampiasan. Semacem itu deh pokoknya." Ujar Mia menggebu penuh kekesalan.

Johan lantas mengerti kenapa Mia sampai semarah ini padanya. Gadisnya sudah kesal duluan mendengar pikiran penuh penghakiman dari teman-temannya, ditambah lagi dengan ucapan tanpa pikir panjang darinya. Wajar kalau Mia sampai se meledak ini.

"Jangan diambil pusing omongan temen-temen kamu." Ucapnya sambil menyesap susu hangatnya. "Kita bisa capek sendiri buat meluruskan apa yang udah terlanjur salah dari argumen seseorang."

"Tapi Mia kesel, Pa! Mereka itu nggak sadar kalo omongan mereka bisa menyakiti perasaan orang yang bener-bener tulus dalam mencintai seseorang. Dan mereka juga bikin Mia tersinggung."

Johan tersenyum lembut dan menumpu kedua siku tangannya di atas meja. "Dan apa mereka tau kalo kamu termasuk salah satu dari orang yang sedang mereka bicarakan?" Mia terdiam seketika. Tentu saja teman-temannya tidak ada yang tahu. Kalau sampai tahu, bisa berabe dan panjang urusannya nanti.

"Nggak." Desahnya lesu.

"Nah, karena mereka nggak tau, mereka juga berarti nggak sepenuhnya salah kan kalo mengutarakan pendapat mereka di depan kamu? Semua orang berhak berargumen, sayang. Hanya kita aja yang harus pandai-pandai mengontrol diri biar nggak sampai menimbulkan keributan karena ketidakcocokan argumen satu sama lain."

"Tapi mereka itu kelewatan sih. Dan Mia greget banget sama argumen dangkal mereka." Sungutnya sebal. Rasanya, ia ingin mencakar satu per satu wajah sok teman-temannya itu.

Johan terbahak karena merasa terhibur dengan raut kesal kekasih kecilnya yang menggemaskan. Ia memaklumi kalau emosi Mia masih acap kali membara. Usia Mia adalah usia di mana mereka mulai mencari dan membangun jati diri, dan itu secara alamiah pasti terjadi. Ia hanya harus pintar-pintar membaca situasi dan sekaligus meredam emosi, baik dari dirinya sendiri maupun Mia. Johan tidak ingin munafik, terkadang ia masih sering terpancing jika Mia sedang mode keras kepala dan ngambek tak berkesudahan.

"Kok malah ngetawain sih?!"

"Nggak ngetawain, sayang. Tapi Papa seneng aja lihat kamu ngambek gini. Makin gemesin." Kekehnya dengan jari yang membelai pipi Mia.

Mia memalingkan wajah, malu karena sadar kalau kini kedua pipi nya sudah memanas. Tuh kan, baru dibilang menggemaskan saja dia sudah salah tingkah duluan seperti ini. Haduh, kenapa dia selalu bertingkah 'receh' kalau sedang berhadapan dengan Johan sih?!

"Papa kok nekat sih dateng ke rumah. Kalo Mama Papa curiga gimana?" Mia merubah topik pembicaraan karena tidak ingin salah tingkah lagi jika sampai dirinya di goda oleh Johan.

"Menurut kamu, apalagi cara yang harus Papa lakuin kalo kamu aja nggak mau dateng ke tempat Papa?"

Mia mendengus. "Yang salah siapa, yang di suruh dateng siapa."

"Bukannya gitu, sayang." Johan meraih tangan Mia untuk ia genggam di atas pahanya, bertaut dengan jemarinya yang besar. "Papa cuma nggak mau kamu kena masalah atau salah paham kalo sampe Papa yang dekatin kamu duluan. Kamu tentu tau kan kalo lebih masuk akal mahasiswa yang mencari dosen ketimbang dosen yang mencari mahasiswanya? Papa nggak mau kamu dituduh macam-macam kalo sampe Papa lebih intens terlihat berusaha mendekati kamu. Maaf kalau pemikiran Papa itu justru bikin kamu marah dan tersinggung ya."

Mia terdiam di tempat. Jujur saja, dia tidak berpikir sampai ke arah itu. Yang ia pikir di kepala dan benaknya adalah, Johan yang gengsi dan tidak mau susah payah membujuknya di saat tersangka kesalah pahaman mereka adalah lelaki itu sendiri. Namun ternyata, Johan bahkan berpikir lebih panjang untuk dirinya dan nama baiknya. Bukankah itu hal termanis yang pernah ia dengar? Johan sangat tidak ingin reputasinya tercoreng hanya karena sebuah kesalah pahaman.

"Maaf." Mia melirik sesaat wajah Johan yang masih betah memandangnya. "Maaf karena pikiran Mia masih sesempit itu nuduh Papa yang nggak-nggak di saat Papa malah mikirin nama baik Mia."

Terlihat raut sesal di wajah Mia yang kini menunduk. Johan tersenyum sangat lembut. Ia meraih dagu Mia, membiarkan Mia menatap matanya. "It's okay, sayang. Terkadang nggak semua niat baik kita bisa serta merta dimengerti sama semua orang. Itulah guna nya komunikasi. Setelah kejadian ini, Papa mohon, jangan lagi ngambek atau marah sama Papa ya. Kita bicarain dulu baik-baik. Mengedepankan emosi nggak akan bikin kita dapat apapun selain penyesalan. Ya sayang?"

Mia dengan cepat menyanggupi permohonan Johan. Ia lantas memeluk tubuh kekar kekasihnya dengan segenap kasih yang ia miliki. "Mia kangen Papa." Bisiknya berusaha mengutarakan rasa rindu yang sejak tadi ia tahan.

"Papa juga kangen kamu. Niat nya mau jelasin sambil kangen-kangenan, tapi kamu nya malah ngambek dan salah paham." Kekeh Johan geli.

Mia melepas pelukan mereka dengan pipi yang memerah. "Ya siapa coba yang nggak salah paham kalo ada di posisi Mia? Udah lagi bete karena abis dengerin omongan yang nggak-nggak dari temen, eh habis itu langsung denger obrolan Papa yang ngeselin itu." Gerutu Mia kesal karena teringat kembali bagaimana obrolan kekasihnya bersama rekan-rekan dosennya. "Lagian, Papa dijodohin tuh sama Bu Aya. Sama2 single kan sekarang. Lebih berpengalaman lagi!"

Johan terbahak keras mendengar kecemburuan Mia yang dirasanya sangat menggemaskan sekaligus tidak diperlukan. Lagipula, kenapa Mia harus cemburu disaat gadis itulah yang berhasil menggenggam erat hati dan cinta nya?

"Sayang, ngapain sih kamu cemburu kaya gini?"

"Siapa yang cemburu? Mia nggak cemburu kok."

Johan menahan senyum dan menangkup wajah Mia yang tadi melengos karena malu sudah tertangkap basah.

"Gimana bisa kamu masih cemburu kalo kamu yang udah berhasil merebut hati sama cinta Papa hm? Aya itu hanya rekan, sayang. Lagipula Papa nggak yakin beliau juga suka sama Papa. Dia bisa dapet yang lebih baik dari Papa."

"Papa kan juga bukan kaleng-kaleng. Gimana kalo misal sampe Bu Aya suka sama Papa? Papa pasti bakalan lebih milih Bu Aya daripada Mi...."

"Shhh." Johan mencubit lembut bibir Mia. "Jangan diterusin di sini. Papa bayar dulu susu nya, nanti kita obrolin di mobil, oke?"

Mia mendengus, namun tak urung mengangguk. Johan lantas segera menuju kasir untuk membayar minuman dan makanan mereka. Sembari menunggu, Mia masih duduk di tempat dengan menghabiskan pisang aroma sekaligus susu rasa melon yang masih tersisa.

"Itu sugar daddy nya. Nggak mungkin lah pacarnya. Secara udah berumur gitu. Tapi ganteng banget sih."

"Perempuan jaman sekarang itu emang kalo nggak matre ya open BO ya. Segala usia diembat asal dapet cuan."

"Yakali mau sama om-om kalo nggak karena duitnya."

Kunyahan Mia terhenti seketika. Telinga nya panas mendengar celetukan-celetukan yang cukup keras di telinga nya, mengomentari hubungan dirinya dengan Johan. Wah, ini sih sudah kelewatan. Ia tidak bisa diam saja.

Namun ketika ia nyaris melabrak kumpulan wanita yang ada di dekat pintu keluar, tiba-tiba pinggang Mia sudah direngkuh erat oleh Johan yang tersenyum menatapnya.

"Papa."

"Yuk kita pulang sayang." Ajaknya dan lantas meraih tas laptop Mia dan menggiring gadisnya pergi, menjauhi sumber masalah.

TBC

AKSES CEPAT HITAM PUTIH SUDAH MENJELANG TAMAT LHO DEAR. EKSTRA CHAPTER MASIH DALAM PENGETIKAN DAN AKAN SEGERA DI KIRIM. YANG TERTARIK MEMBELI AKSES CEPAT SEHARGA 45K, BISA HUBUNGI NO WHATSAPP 083103526681 UNTUK INFO PEMBELIAN. PEMBAYARAN BISA MELALUI REK BCA, DANA, GOPAY ATAUPUN SHOPEEPAY. YANG MAU, YUKKKK SEGERA ORDER🤗

Hitam dan PutihOnde histórias criam vida. Descubra agora