Mia & Johan - 16

2.1K 171 6
                                    

Biasanya, di antara Mia dan Johan, Mia itu yang paling sering memandangi Johan. Memuja dalam hati akan ketampanan kekasihnya yang seolah tak pernah lekang meski di makan usia. Menatap Johan itu menimbulkan efek baik bagi tubuh. Mia jadi merasakan ringan, penuh cinta, dan juga seolah ada yang menggelitiki perut nya tanpa ia sadari.

Namun saat ini, di tengah sakit hatinya kini, Mia enggan menatap Johan meski ia rindu akan gerak gerik kekasihnya itu. Mia ingin Johan tahu kalau pendapat lelaki itu sangat amat menyakiti hati serta harga dirinya tentu saja. Perempuan mana yang tidak sakit hati kalau ternyata lelaki yang kita cintai selama ini pun sama piciknya ketika menilai suatu hubungan. Apakah Johan tidak sadar kalau mereka berdua juga pasangan beda usia?

Hal itu terus berputar di kepala Mia. Meski dirinya sudah mencoba menghibur diri sendiri dengan menanam bunga, namun rasa dongkol dan sedih adalah dua perasaan paling dominan yang tak kunjung pergi, hingga detik ini.

"Sayang." Lirih Johan sendu dengan mencoba meraih tangan Mia yang ada di atas meja, bersisian dengan segelas susu hangat rasa melon favoritnya. Saat ini mereka memang tidak sedang berada di rumah Mia.

Mia memutuskan untuk membawa Johan ke kedai susu yang ada di pinggir jalan langganannya. Gila saja kalau dia memilih bertahan untuk berunding di rumah. Jiwa kepo Mama nya pasti bisa meroket naik untuk menguping pembicaraan mereka. Lagipula, di sisi lain, Mia juga tidak yakin bisa menahan emosi dan nada tingginya ketika berbincang dengan Johan. Sebab itulah akhirnya ia putuskan mampir ke kedai susu langganannya disertai tas jinjing berisi laptop sebagai formalitas agar Mama tidak curiga.

"Buruan deh Pak. Udah makin malem. Saya bukan anak yang suka keluyuran malem-malem, apalagi godain laki-laki yang lebih tua." Ketus Mia dengan diiringi sindiran tajam mengenai topik obrolan Johan kala itu dengan rekan sesama dosen yang memicu kesalah pahaman mereka.

Johan menghela napas dan menggeser duduknya tepat bersisian dengan Mia yang tak bisa lagi kabur karena ramainya kedai malam ini. "Papa, bukan Pak, sayang." Ralat Johan lembut. "Papa tau. Mia bukan perempuan seperti itu."

"Well, siapa yang tau kan?" Sinis Mia sembari melirik Johan. "Kapan lagi bisa manfaatin om-om? Soalnya biasanya om-om yang sukanya manfaatin anak muda. Iya kan?"

Johan mengerti kalau Mia tengah menyindirnya demi mengutarakan rasa sakit yang dirasa gadisnya. Ini semua pantas ia dapatkan. Hanya karena menanggapi ucapan rekan sesama dosen, ia jadi tanpa sadar menggores hati Mia yang selama ini begitu tulus menjalin hubungan bersama lelaki tua seperti dirinya.

"Papa salah, sayang." Cekat Johan merana. "Papa sadar kalo ucapan Papa pasti bikin kamu sakit hati banget. It's all my fault." Dengan perlahan, Johan mencoba meraih jemari kanan Mia untuk ia genggam. Penolakan Mia sama sekali tidak ia acuhkan karena rasa rindu yang begitu besar ia rasakan untuk Mia.

"Ck lepas ih!" Sentaknya yang masih saja gagal untuk mencoba lepas dari genggaman tangan Johan.

"Sayang, dengerin dulu." Pinta Johan sambil berusaha untuk menangkup sebelah wajah Mia yang terus saja melengos darinya.

"Bapak tau nggak sih kalo saya itu males banget liat bapak? Udah lah, saya mau pulang aja. Nggak perlu jelasin apa-apa karena semua udah jelas!"

"No, listen to me!" Mia dan sekeliling pengunjung kedai susu terperanjat karena bentakan Johan yang cukup keras. Bahkan abang penjual susu nya pun sampai berhenti mengaduk gelas susu yang tengah diraciknya karena kaget dengan bentakan Johan.

Sadar kalau suaranya memancing atensi sekitar, Johan lantas berdeham dan mengecilkan volume suaranya ketika berusaha berbicara kembali dengan Mia.

"Kamu salah paham, sayang. Waktu itu, yang Papa maksudkan dari obrolan Pak Doni itu si perempuan yang jadi topik bahasan. Tapi bukan berarti Papa menggeneralisasikan semua perempuan muda seperti itu."

Mia menatap Johan sengit dengan mata yang sudah merah berkaca-kaca. "Oh ya? Masa sih? Bukannya ucapan itu cerminan dari isi hati seseorang ya? Bapak sadar nggak sih kalo secara nggak langsung udah menghina dan merendahkan saya?"

Johan membelalak panik. Kepala nya menggeleng, berupaya mengelak dari tuduhan pedas Mia yang sudah terlanjur salah paham dengannya. "Nggak gitu, sayang. Papa nggak begitu. Itu murni karena cerita yang Papa dengar. Dari situ Papa bisa menilai bagaimana sekilas watak si mahasiswa itu. Ucapan kamu nggak bener, sayang." Sanggahnya sedih. Tanpa sadar matanya ikut memerah karena turut sakit melihat kesedihan di mata kekasih kecilnya.

"Bapak tuh nggak tau! Bapak nggak tau gimana pikiran temen-temen yang dengan piciknya menghakimi hubungan beda usia. Dan ternyata, Bapak sama aja." Ujar Mia bergetar karena dorongan kesal dan sedih secara bersamaan. Mendengar penilaian temannya memang menyakitkan, tapi mendengar langsung penilaian dari Johan, rasanya berkali-kali lipat sakitnya.

Johan menatap frustasi Mia yang sedang menahan tangis mati-matian meskipun banyak pembeli yang terang-terangan menggosipkan mereka.

"Sayang, maafin Papa ya. Papa tau respon Papa salah. Tapi Mia nggak perlu khawatir, karena Papa bukan orang yang berpikiran kolot seperti yang Mia bilang tadi. Papa menghargai hubungan tiap orang, termasuk hubungan istimewa kita. Papa sayang sama kamu. Sayang sekali. Maafin Papa ya? Papa menyesal." Mohonnya penuh kesedihan.

Mia sendiri jadi goyah karena mendengar nada sedih dan bergetar dari mulut Johan. Belum lagi wajah sedih dan mata memerah penuh penyesalan yang tak bisa serta merta Mia abaikan.

"Sayang, maafin Papa. Papa menyesal. Sangat menyesal. Kasih Papa kesempatan kedua ya?" Hati Mia luluh karena wajah itu. Wajah penyesalan sekaligus kesedihan yang tentu tidak dibuat-buat. Pernah dengar kan kalau laki-laki itu paling sulit memanipulasi sebuah kesedihan? Mereka akan benar-benar menangisi hal yang sangat mereka sayangi, cintai, atau bahkan sesali. Dan karena itulah ia percaya kalau saat ini Johan betul-betul menyesalinya.

"Bapak beneran nyesel?" Johan mengangguk dengan tatapan penuh harap.

"Papa nyesel banget." Tukasnya sungguh-sungguh. "Kamu mau kan maafin Papa?"

Mia menatap lekat wajah Johan yang tampak lelah, tidak seperti biasanya. Ia lantas menghela napas dan melengos dengan wajah tidak mau kalahnya.

"Fine. Aku maafin Bapak. Aku anggep itu cuma karena kelalaian Bapak karena faktor umur."

Johan tersenyum haru sekaligus lega. Ia tak peduli mau Mia mengejek nya seperti apa. Yang penting, ia dan kekasih mungilnya ini bisa kembali damai dan memadu cinta, seperti biasa.

Saking senang nya, Johan sampai lupa kalau dirinya sedang berada di tempat umum. Dengan impulsif, ia meraih pipi Mia dan mengecupnya penuh cinta.

Sebagai korban, meskipun Mia senang-senang saja dicium seperti ini, namun ia tetap kaget karena aktivitas intim mereka terjadi di ruang publik, yang mana kini mulai banyak yang saling berbisik karena PDA yang kekasihnya lakukan baru saja.

"Bapak! Ini di tempat umum!" Desis Mia dengan wajah yang memerah sempurna.

Johan terkekeh dan mendekatkan bibirnya ke telinga Mia. "Dan Papa nggak peduli, sayang." Tukas nya lembut. "Oh iya, panggil Papa, sayang. Bukan Bapak."

*PDA = Public Display of Affection (Istilah lainnya suka memamerkan kemesraan di ruang publik)

TBC

Yukyukkkk yang mau baca akses cepat bisa banget lho. Saat ini akses cepat sudah sampai chapter 34, dan kemungkinan akan segera ending. Buat yang berminat, bisa banget hubungi nomor whatsapp 083103526681. Cukup bayar 1x, sudah dapat akses sampai tamat nanti seharga 45 ribu aja. Pembayaran bisa melalui rekening bca, dana, gopay, ataupun shopeepay.

Cuss yang mau ya dears🤗

Hitam dan PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang