[05] ~ Nothing Special

21 3 0
                                    

"Mas itu cewek kan ya?" Nadira berusaha menepis khayalannya.

"Jelas-jelas itu bapak-bapak masih aja ditanyain, buruan masuk mbak mau diputer nih."

Nadira masih percaya kalau yang di depannya ini hanyalah khayalan karena Nadira emang tukang ngayal. Dia pun masuk dan duduk di sana sambil menertawakan dirinya sendiri.

"Kenapa?" Dia bingung melihat Nadira tertawa sendiri.

"Aduh pake kebayang suaranya lagi, gila emang khayalan gue ini," Nadira menepuk-nepuk kepalanya, kemudian melihat kembali ke depannya.

"Lah masih ada?"

Nadira memindahkan permen kapasnya ke tangan kirinya. Dia mengangkat tangan kanannya untuk menepis pria khayalannya itu.

Sebelum tangannya bergerak, dia dihentikan. Tangan yang menghentikannya itu terasa sangat nyata, bahkan hangat seperti makhluk hidup. Gadis itu memerhatikan wajah pria di depannya, mata pria itu berkedip, hidung bergerak, dan alisnya mengernyit.

"Meskipun ini bukan di kantor, kamu tidak boleh memukul saya," ucap pria itu.

"Pak Gio? Asli?!" Nadira langsung menarik tangannya. "Maaf Pak! Saya kira saya berkhayal!" Dia menundukkan kepalanya.

Wajahnya sangat merah saat ini, dia hampir saja memukul Gio jika tidak dihentikan. Ah, sial sekali, kenapa di saat seperti ini dia harus bertemu Gio.

"Tidak saya maafkan."

"Eh?" Nadira langsung mengangkat wajahnya dan menatap Gio.

"Kecuali kamu temani saya malam ini."

HAH?! EMANGANYA GUE APAAN??

"M-maksudnya Pak?!"

Pak Gio menyentil jidat Nadira, "Temani saya selama di sini."

HEH KENAPA JIDAT GUE DISENTIL

"Gak usah mikir aneh-aneh," ucapnya.

"O-oh iya Pak siap!"

Nih orang kalau mau ngomong gak dipikir apa?! Siapa aja yang denger kata-kata Bapak barusan bakal salah paham!

"Ngapain kamu di sini?" Tanyanya tiba-tiba setelah hening beberapa saat.

"Ya jalan-jalan Pak, lha Bapak sendiri ngapain di sini?" Sepertinya pertanyaan itu lebih cocok untuknya, untuk apa orang seformal Gio berada di arena hiburan ini dengan setelan jas pula! Astaga, orang ini pasti dari kantor langsung menuju alun-alun.

"Sama."

Nadira memerhatikan raut wajah Gio, terlihat jelas itu raut wajah orang kelelahan dan stress. Sepertinya pria itu tidak mempunyai siapapun sebagai tempat keluh kesahnya, padahal kerjaan Gio sangat berat. Orang menganggapnya dia hanya seorang atasan yang suka memerintah saja, salah besar, dia yang bertanggung jawab atas keputusan internal divisi, hasil kerjaan Nadira dan yang lain pun, belum lagi jika ada kesalahan. Nadira tidak tahu apa masalah pria itu hari ini.

"Pak," panggilnya hingga Gio menoleh.

"Mau?" Nadira menodongkan permen kapasnya.

Gio tertawa rendah, "kamu pikir saya anak muda."

"Bapak kira cuma anak muda yang butuh asupan gula?" Nadira menggeleng. "Makanan manis itu bisa memperbaiki mood loh, masa udah jauh-jauh ke Batu pulang-pulang Bapak masih cemberut aja," ledeknya.

"Ya deh," pria itu mencuil sedikit permen kapas milik Nadira dan memakannya.

Nadira tersenyum tipis kemudian mengalihkan pandangannya ke arah luar, kabin bianglala tempat mereka berada di posisi paling atas kali ini. Pemandangan kota Batu terlihat dari atas sana, walau hanya lampu-lampu bagi Nadira itu sangat indah. Namun lama kelamaan dingin ini menganggu Nadira, angin di atas sini lebih kencang daripada tadi.

My Love is an AhoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang