25

129K 10.4K 115
                                    

"Bubu, Jay berangkat dulu. Hati-hati dirumah" Jay izin berangkat sekolah pada sang bunda, sekaligus mengingatkannya untuk berhati-hati jika sendiri.

Sang bunda mengangguk, matanya terpejam saat putra bungsunya mencium keningnya, sayang. "Hati-hati juga dijalan"

Jay mengangguk, lalu menaiki motornya dan pergi ke sekolah. Senyum yang sedari tadi terpatri itu luntur, ingatannya kembali saat sang putra sulungnya menuduhnya yang tidak-tidak dulu. Walaupun bukan putra kandung, ia sangat menyayangi nya. Namun lagi-lagi gelar sebagai ibu tiri membuatnya hanya bisa diam.

"Hah, bunda kangen Ayres" uap hangat dari mulutnya keluar, musim dingin sudah tiba membuat harus mengenakan syal dan juga kardigan tebal.

"Pasti Xan sudah besar, aku bahkan hanya bisa melihat Xan lewat foto di ponsel Jay" ia kembali mengeluh, ia hanya berharap sebuah ada seseorang yang mau membantunya keluar dari masalah ini. Ia ingin semuanya kembali seperti dulu.

>>><<<

Stela berdiri di halte bus dengan mantel tebal sebetis nya, sekali lagi, Stela tidak kuat dingin. Ia pegal terus menunggu bus, ia ingin duduk. Tapi kursi halte sudah penuh, membuat harus mengalah.

Tapi tak lama sebuah motor berwarna biru tua itu berhenti didepannya, membuat Stela bingung. Sang pemilik motor membuka helmnya, menatap datar Stela.
"Masih lama kan bus nya?" Tanya Jay.

Stela mengangguk, Jay yang melihat Stela cukup menggigil mengambil sebelah tangan Stela.
"Naik, lo ga kuat dingin" Stela tersenyum, Jay cukup peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Ia mengangguk, lalu naik ke atas motor besar nan tinggi itu. Stela meletakkan sebelah tangannya di pundak Jay, lalu disambut dengan kakinya yang ikut naik ke atas motor.

Jay mulai melajukan motornya, Stela menggenggam erat mantel Jay. Ia bahkan tidak memerlukan.

"Jay, kok aku jarang liat Xan ya? Biasanya dia main sama aku, Aiyla juga July. Tapi semenjak Xan dijemput ayahnya waktu itu, Xan jadi jarang main" kata Stela lesu.

"Xan sakit" jawaban singkat itu membuat Stela terkejut.

"Sakit? Bukannya kemarin baru sembuh?"

Jay mengangguk. "Jay demam, efek terlalu banyak menangis. Ia sering merengek sakit kepala, juga ada cedera di punggung nya"

Stela semakin terkejut. "C-cedera?"

"Iya, setelah ditanya. Xan bilang ia terjatuh di kamar mandi, namun jika didengar lebih seksama nada bicaranya terdengar seperti-- takut?" Jay mengernyit heran saat kembali mengingat raut wajah Xan saat itu.

Gadis itu menghela nafas, ia ingin datang ke rumah Xan. Tapi ia takut untuk bertemu dengan ayahnya itu. "Kamu mau kerumah nya?" Tanya Jay.

Ia mengangguk, tapi kemudian menggeleng. Jay terkekeh, ia paham Stela takut. Wajah kakaknya pasti saat menyeramkan dan jelek saat itu, ia sudah tak heran.

"Kita datang saja besok ke rumahnya, curi dengar dari sekretarisnya besok ia bisa jadi lembur. Jadi tak masalah jika kita datang ke sana" Stela hanya mengangguk.

>>><<<

Seorang wanita paruh baya berjalan di trotoar dengan beberapa kantong plastik berisi bahan-bahan dapur untuk memasak. Ia tadinya ingin memintanya Jay untuk mengantarnya, karena pasar cukup jauh dari rumah. Walaupun naik bus ia pasti akan berhenti sejenak agar tangannya tidak sakit, karena belanjaannya cukup berat.

Halte bus ada di depan perumahan, jadi ia pasti akan jalan dari depan perumahan sampai rumah. Ia kembali berhenti di salah satu kursi panjang di trotoar, tangannya pegal dan rumahnya masih jauh.

Ia duduk disana, salju sudah turun kemarin malam. Jadi ia baru bisa berangkat ke pasar agak siang, karena jalanan harus dibersihkan dulu. Ia duduk di dekat taman bermain, tersenyum saat melihat anak-anak sedang bermain salju. Ada yang sedang perang salju, membuat boneka salju dan lainnya. Hingga netranya tak sengaja melihat sesuatu yang cukup familiar, matanya memicing guna melihat lebih jelas apa yan dilihatnya.

Tunggu, itu seperti... Xan? Benarkah? Tidak mungkin, ia pasti salah lihat. Anak itu bermain di ayunan, memaju-mundurkan ayunan itu dengan sekuat tenaga. Kakinya tak sampai, karena yang ia naiki itu ayunan untuk anak sekolah dasar, sedangkan kakinya sangat pendek.

Akhirnya anak itu turun dari ayunan, berjalan ke tumpukan salju di sisi taman bermain. Dan... Hap! Ia meloncat kesana, membuat kakinya tenggelam di dalam tumpukan salju itu. Ia tertawa senang, menepuk tangannya tanda ia senang. Namun kesenangannya tak berlangsung lama, saat ia mencoba mengangkat kakinya, kakinya terasa berat. Ia berusaha, namun tetap tak bisa.

"HUAAAAA, TAKI NA NDA BICA TELUAR!!" ia menangis keras, membuat wanita paruh baya itu dengan segera berlari kearahnya.

"Mari granma bantu" wanita paruh baya itu meletakkan kedua tangannya di kedua ketiak anak itu, kemudian mengangkatnya dengan mudah dan membawa anak kecil itu untuk duduk. Kakinya pasti dingin.

Anak itu masih sesenggukan, dan ia seperti tak memiliki kaki. Dengan kata lain mati rasa. Ia terdiam saat melihat granma didepannya membuka sepatunya dan kaus kakinya, mengusap-usap nya agar hangat.
"Telima kacih glenma~" ucapan itu membuat wanita paruh baya itu tersenyum dan mendongak.

"Sama-sam... Xan?!"

🍼🍼🍼

Note:

Kalian ternyata banyak yang komentar di chapter kemarin, tapi Rin habis update langsung tidur. Habis itu paginya langsung ke sekolah, ga sempet cek hp, terus pulang sekolah langsung tidur sampai sore, hehe..

Wah, ketemu sama Xan bakal dibawa ga ya?

Ini waktu kaki Xan kelelep(=^・ェ・^=)

By. Pinterest

Mafia Widower Where stories live. Discover now