Menghindari Pesonanya

199 19 0
                                    

Seminggu lagi, tepat sebulan aku bekerja di Starlight. Pertama-tama, aku harus berterimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang begitu baik kepadaku karena memberikan pekerjaan seramah ini. Semua hal yang kutakutkan tidak terjadi. Justru hal yang tak pernah kuduga banyak terjadi.

Pertama, aku akan mulai dari pekerjaanku. Walau harus beberapa kali melakukan manuver dalam pekerjaan, setidaknya aku tidak terlalu sering dipaksa menjadi tukang sulap dadakan. Tugasku sebagai admin unit adalah melayani semua kebutuhan timku yang berjumlah tiga orang dalam hal administrasi. Pekerjaanku tak jauh-jauh dari mengurus pembayaran, mengelola keuangan, mengarsip file, membuat surat dan melakukan registrasi dalam beberapa hal dengan rapi. Pekerjaan yang sudah biasa kulakukan sejak pertama kali menginjakkan kaki di perkantoran.

Kedua, lingkungan pekerjaannya. Bagiku, lingkungan kerja yang nyaman adalah hal yang mahal dan langka. Tak hanya baik untuk kesehatan rekening, pekerjaan di Starlight juga baik untuk kesehatan mental. Selamat tinggal Jenar bermuka datar! Karena sekarang aku sudah menjelma menjadi Jenar yang murah senyum. Semua yang ada di kantor ini berjalan seperti harmoni. Teman-teman kantor yang menyenangkan dan kompak, atasan yang baik dan pengertian serta tekanan pekerjaan yang seimbang. Cukup menantang, tapi tidak bikin sinting. Dan yang paling menyenangkan, tidak ada yang menyindir atau menatap sinis kalau aku pulang tenggo alias teng langsung go!

"Jenar, minta tolong cariin restoran ya buat meeting sama vendor," Pak Prabu menghampiri mejaku usai jam makan siang.

"Di mana, Pak?" tanyaku.

"Dekat-dekat sini aja."

Aku tak punya pilihan selain mengangguk. Untuk beberapa saat, otakku ngelag. Belum genap sebulan aku bekerja di Starlight, dan aku tak pernah makan di luar karena aku adalah tim bawa bekal dari rumah. Selain karena malas turun ke bawah dan panas-panasan mencari makan di luar, membawa bekal adalah salah satu jurus pengiritan paling manjur. Jadi, mana aku tahu restoran mana di sini yang cukup oke untuk acara seperti itu?

Leherku mulai berputar layaknya kipas angin, mencari seseorang untuk kuminta tolong atau sekadar mencari referensi restoran mana yang cocok untuk pertemuan dengan vendor. Meja mas Dion dan Mas Tian masih kosong. Mereka belum keembali dari makan siang. Meja Dessy pun masih melompong. Empunya meja belum kembali dari toilet.

Satu-satunya penghuni yang stay dan tampak available untuk kumintai tolong hanya Nico. Ia sedang duduk anteng di tempatnya sambil menatap keluar jendela.

"Nic, lagi sibuk nggak?" tanyaku seraya duduk di bangku kosong di sebelahnya alias bangku Mas Tian.

"Enggak, kenapa?"

"Pak Prabu minta dipesenin restoran buat meeting sama vendor sore ini. Mau nggak temenin aku nyari?" pintaku. "Aku belum terlalu tahu restoran dekat-dekat sini."

Nico mengangguk. "Boleh."

Maka, di siang hari yang terik itu, akhirnya aku turun dan panas-panasan mencari restoran bersama Nico. Nico menyarankan beberapa restoran di dekat kantor yang cukup oke dan biasa digunakan untuk keperluan meeting.

"Di Kopi Koneng juga oke. Aku suka ngopi di situ kadang sepulang kerja. Menunya enak-enak. Suka dipakai meeting juga," kata Nico.

Kami pun mampir ke Kopi Koneng. Benar saja, kafe itu cukup oke. Sebuah kafe bernuansa klasik yang kental. Baik dari sisi dekorasi, maupun menu makanannya. Bahkan, sampai peralatan makan yang digunakan pun semuanya bermodel jadul. Rasanya seperti bertualang melewati dimensi waktu. Benar kata Nico, tempat ini memang oke punya. Aku pun memesan meja untuk sepuluh orang, sesuai instruksi Pak Prabu.

"Makasih ya udah nemenin aku cari restoran. Coba tadi aku sendirian, pasti bingung kayak anak ilang," kataku mengapresiasi kebaikan Nico yang bersedia meluangkan waktu dan panas-panasan menemaniku mencari restoran.

Upik Abu dan PangeranWhere stories live. Discover now