I (Just) Love You

52 8 0
                                    

Berharap aku dan Nico jadian saat kami outing? Baiklah, sejujurnya aku memang sedikit berharap. Di tengah hawa sejuk dan latar belakang kawasan Lembang yang indah, Nico menyatakan cinta padaku. Indah sekali. Tapi aku sadar itu terlalu indah untuk jadi kenyataan, hingga aku menahan diri untuk tidak terlalu mengharapkan keajaiban itu.

Dan memang keajaiban itu tidak terjadi. Sebagaimana hidupku yang sangat masuk akal, hal yang terlalu indah itu tidak terjadi. Aku pulang dalam keadaan masih jomblo, dan Nico tetap menjadi rekan kerjaku. Tenang saja, aku tidak kecewa karena aku memang tidak terlalu berharap. Hanya saja aku pusing memikirkan bagaimana menghadapi Nico di kantor. Dengan rasa malu yang membekas bak noda getah di pakaian putih yang sulit hilang.

"Jenar, besok gue mau ke Surabaya. Tolong cariin tiket pesawat dan pesanin hotel ya," kata Mas Tian sekembalinya dari makan siang.

"Dadakan amat, Mas."

"Iya, gue juga baru dikabarin kalau ternyata gue harus dampingin acara kick off," jelasnya.

Aku mengangguk-angguk. "Mau penerbangan jam berapa?"

"Kalau ada pagi ya, acaranya jam tiga."

Aku pun lantas mulai berselancar di aplikasi Traveloka untuk mencarikan tiket pesawat. "Adanya penerbangan jam enam sama jam delapan. Mau jam berapa?" tanyaku setelah menemukan beberapa opsi penerbangan.

"Hmm..." Mas Tian berpikir sejenak. "Jam delapan aja deh. Jam enam kepagian, takut nggak keburu."

"Oke."

Setelah selesai memesan tiket pesawat dan hotel, aku lanjut membuat memo dan surat perjalanan dinas. Tak butuh waktu lama karena sebelumnya Dessy sudah memberiku draft memo beserta surat perjalanan dinas. Ia biasa membuatkannya untuk Pak Prabu.

"Mas Tian, paraf ya," kataku seraya menyerahkan memo dan surat perjalanan dinas yang selesai kubuat.

Mas Tian membaca terlebih dulu memo dan surat perjalanan dinas sebelum memberikan paraf. Sementara aku berdiri menunggu di belakangnya sambil berusaha mengabaikan Nico. Namun seolah aku kehilangan kendali atas mataku, aku malah meliriknya. Sialnya, kami malah bertemu tatap karena ternyata Nico sedang menatapku. Aku segera berpaling dan berharap Mas Tian segera memberi paraf sehingga aku bisa cepat-cepat kembali ke mejaku yang aman.

"Waah, aamiin!" seru Mas Tian tiba-tiba sambil tertawa.

"Hah?" ujarku bingung.

"Lo doain gue jadi general manager marcomm? Ya gue aminin hahaha..." candanya.

"Aduh, sorry Mas. Aku lupa ganti hehehe..." kataku nyengir.

Mas Tian, dengan sisa tawa gelinya menyerahkan memo dan surat perjalanan dinas padaku. "Ya udah nih, betulin dulu."

"Galauin Nico mulu sih," tiba-tiba saja Mas Dion menyahut.

"Apaan sih?!" elakku agak ngegas tanpa kusadari. Mas Dion meledekku di saat yang sangat tidak tepat.

"Buseh, galak amat!"

Tanpa menyahut lagi, aku kembali ke mejaku dan mulai merevisi. Sekali lagi, aku menangkap lirikan Nico ke arahku. Sebenarnya tadi aku ngegas bukan karena tak suka diledek, tapi karena takut Nico jadi tambah risih padaku.

Empat hari sudah berlalu sejak outing, tapi aku belum pernah bicara dengan Nico sama sekali sejak insiden balkon itu. Bahkan saat gala dinner aku sengaja selalu menghindaarinya. Aku sungguh sangat malu padanya. Muka tembokku belum sekuat dan setebal Tembok Cina. Aku juga meminimalisir berurusan langsung dengan Nico sekalipun urusan pekerjaan.

Aku tahu ini tidak profesional. Tapi mau bagaimana lagi? Aku tak bisa membohongi perasaanku. Seharusnya dulu aku berpikir lagi sebelum jatuh cinta pada Nico. Seharusnya aku bisa memegang kendali atas perasaanku dan tetap bekerja profesional tanpa embel-embel roman picisan. Kalau sudah begini, aku harus bagaimana? Mau resign, cari pekerjaan susah. Apalagi aku sudah terlanjur nyaman kerja di Starlight. Mau pindah divisi, rasanya tidak semudah itu. Belum tentu juga divisi lain seenak di Marcomm.

Upik Abu dan PangeranWhere stories live. Discover now