EPILOG

147 12 0
                                    

Hujan mengguyur wilayah Bogor tanpa henti sejak siang hingga malam menjelang. Membuat suhu di wilayah Sentul menurun tanpa ampun dan hawa menjadi terasa dingin. Bahkan kabut mulai turun mengurangi jarak pandang. Nico duduk berdiam memandangi barisan rapi tanaman hias di rumah kacanya sambil menikmati rinai hujan di luar. Sungguh aktivitas yang menyenangkan. Berkutat dengan tanaman sebagai pekerjaan sekaligus bisa menikmati keindahannya di kala senggang.

Nico menoleh saat mendengar pintu rumah kacanya dibuka. Sang Mama menghampirinya dengan senyum teduh dan membawa dua cangkir teh di tangannya. Beliau lantas duduk bergabung di sebelah Nico.

"Ini, Mama buatin teh hangat," kata Mama seraya meletakkan teh yang dibawanya ke meja kecil di antara mereka. Kemudian beliau merapatkan sweater demi menghangatkan tubuhnya. "Dingin banget ya."

Nico tersenyum. "Namanya juga Bogor. Apalagi kalau hujan begini." Ia menyesap teh manis hangat buatan mamanya. "Papa mana?"

"Lagi mandi. Heran Mama, dingin-dingin begini kok mandi. Mama tawarin air hangat juga nggak mau. Nanti masuk angin baru tahu!" Mama setengah menggerutu.

Nico tersenyum dan kembali menyesap tehnya. Kehangatannya segera menjalar dari tenggorokan ke seluruh tubuhnya. Ocehan bawel Mama yang dulu seringkali memekakkan telinga, kini terdengar menyenangkan dan penuh kehangatan. Apalagi setelah bertahun-tahun Nico kehilangan ocehan bawel khas Mama karena beliau menderita depresi. Sekarang Nico takkan protes walau Mama membawelinya 7x24 jam tanpa henti.

Tatapan Mama tampak sendu menatap rinai hujan yang mengguyur rumah kaca. "Mama minta maaf ya, Nic. Selama ini Mama udah jadi beban buat kamu," gumam Mama tiba-tiba. "Seharusnya dulu Mama ada buat kamu waktu keluarga kita bangkrut dan Papa masuk penjara. Seharusnya Mama nggak egois dan mikirin diri Mama sendiri sampai depresi. Seharusnya Mama nggak lupain kamu."

Nico menoleh, menggenggam erat tangan sang Mama yang terasa dingin. "Udah, Ma. Nggak perlu minta maaf. Nggak perlu juga kita ungkit-ungkit masa lalu. Yang penting sekarang kita kumpul dan keluarga kita utuh lagi. Mama bisa sembuh dan ada buat Nico juga Nico udah senang."

Mata bening sang Mama tampak berkaca-kaca menahan tangis. Ia menatap lelaki muda di hadapannya. Lelaki itu bukan lagi putranya yang bandel, manja dan tukang buat onar. Kini ia telah berubah menjadi lelaki sejati yang mandiri dan penyayang. "Mama bangga sama kamu, Nic. Ternyata kamu bisa melalui semuanya, dan kamu berubah jadi anak yang mandiri. Mama sadar, kehilangan harta kekayaan itu nggak ada artinya karena Mama masih punya kamu."

Ucapan lembut Mama terasa begitu menyejukkan hati. Kini, Mama telah berubah. Bukan lagi ibu-ibu sosialita yang hanya memikirkan harta dan gengsi. Mama telah menjadi sosok ibu yang penuh kasih sayang dan kelembutan. "Nico janji bakal selalu ada dan bahagiain Mama dan Papa."

Mama mengangguk, meyakini sepenuhnya janji putranya. "Tapi jangan lupa bahagiain diri kamu sendiri. Kamu udah dewasa, udah saatnya kamu mikir masa depan dan mikir buat berkeluarga."

"Hmm... Nico belum kepikiran, Ma."

"Ya makanya mulai dipikirin," sela Mama. "Nggak usah muluk-muluk nentuin kriteria. Yang penting dia sayang sama kamu, bisa nyenengin kamu dan nerima apa adanya."

Nico terdiam. Pikirannya melayang. Sebenarnya, tak perlu Nico bersusah payah mencari, karena wanita seperti itu pernah ada di hidupnya. Wanita yang melakukan segala cara untuk membuktikan cintanya pada Nico. Yang begitu menyayanginya dan menerima Nico apa adanya, termasuk masa lalu buruk keluarga Nico. Wanita yang bersahaja sekaligus cerdas dan penuh kelembutan. Dia adalah Jenar.

"Nic! Kok malah bengong? Dengar nggak sih Mama ngomong?!" ujar Mama agak kesal saat ucapannya tidak mendapat tanggapan.

Pikiran Nico yang sempat melayang, kembali mendarat di bumi. "Sorry, tadi Mama ngomong apa?" Nico agak gelagapan karena kehilangan orientasi.

Upik Abu dan PangeranOnde histórias criam vida. Descubra agora