Only Hope

69 11 0
                                    

Orang-orang mengatakan hari ini wajahku begitu cerah sumringah. Bagaimana tidak? Aku sedang dirundung cinta bukan kepalang gara-gara perlakuan Nico semalam. Aku bahkan sampai tidak bisa tidur. Padahal produksi video iklan kemarin terasa melelahkan.

"Ciyee yang habis project berduaan sama Nico," ledek Dessy saat melihatku datang dengan wajah sumringah.

Aku menghampiri mejanya dan cekikikan senang. Persis seperti anak sekolah yang naksir kakak kelasnya. "Seru banget kemarin tuuh."

Dessy pun ikutan tertawa. "Gimana, gimana?"

Aku melihat keadaan sekitar. Mas Tian dan Nico baru datang. Rasanya tidak aman kalau aku curhat sekarang. "Nanti deh gue ceritain pas istirahat aja ya," kataku walau aku sudah tidak sabar ingin cerita saat itu juga.

"Oke deh."

***

Aku begitu tidak sabar ingin segera sampai kantin hingga tak kusadari langkahku jadi lebih cepat. Kali ini, Dessy mengajakku makan siang di kedai Ayam Ijo. Dia bilang Ayam Ijo alias ayam sambal hijau di kedai ini tak kalah mantap. Sejak mencicipi soto Betawi yang terasa nikmat itu, aku jadi malas membawa bekal. Toh harga makanan di kantin belakang kantor cukup terjangkau.

"Gimana, gimana?" tanya Dessy tak sabaran. "Kemarin pas dengar Pak Prabu minta lo buat ngawal syuting sama Nico gue senang banget hahaha... sampai senyum-senyum sendiri gue."

"Gue juga hahaha. Tapi kemarin selama ngawal syuting kita nggak banyak ngobrol sih. Setelahnya tuh yang seru," aku pun memulai ceritaku. "Lo ingat nggak belum lama lo cerita soal Nico nggak bisa move on dari cinta pertamanya itu?"

Dessy mengangguk nggak sabaran.

"Kemarin gue ketemu itu orang. Cinta pertama Nico."

"Serius lo?" Mata Dessy membelalak. "Kok bisa? Gimana dia orangnya?"

"Kebetulan kemarin dia ada di kafe yang ada di kawasan lokasi syuting. Dia pegawai bank. Cantik, baik, dan kelihatan banget dia itu pintar. Gue nggak tahu ya gimana hubungan dia sama Nico dulu, tapi mereka dekat banget, Des. Nico bahkan kayak kenal akrab gitu sama keluarganya Citra."

"Ooh, namanya Citra," Dessy mengangguk-angguk.

"Iya. Gue hopeless banget lihat dia. Si Citra itu soalnya baik dan kelihatan dewasa. Beda lah sama gue yang nggak danta ini," kataku. "Terus kan ya udah tuh gue bareng Nico sampai stasiun kan. Tapi pas nurunin gue, Nico kayak sadar muka gue suntuk. Dia kira gue ngantuk. Padahal gue lagi bete karena minder habis lihat Citra."

"Akhirnya gue diajak ngopi sama Nico, sambil dia ngerjain pengajuan produksi video animasi. Awalnya kita diam-diaman kan. Karena gue bosan didiamin, gue ajak ngobrol aja lah dia. Eh, dia malah cerita panjang ke gue, Des," lanjutku bersemangat. Aku benar-benar lupa akan rasa laparku dan godaan ayam sambal hijau yang menggiurkan di hadapanku gara-gara keasyikan mendongeng. "Sumpah, itu pertama kalinya Nico ngobrol panjang sama gue. Dia ceritain apa aja. Tentang keluarganya, tentang jaman sekolahnya, tentang Citra juga. Kayak, dia tuh percaya banget sama gue, Des. Dia nyeritain banyak hal yang dia nggak cerita ke banyak orang." Aku tersenyum gemas hingga kedua mataku terpejam sambil memegangi pipiku saking senangnya. Hanya itu saja. Aku tidak menceritakan detail cerita Nico pada Dessy karena aku menghargai privasinya.

"Beneran, Nar? Wah, senang banget dong lo." Inilah yang kusukai dari sahabat seperti Dessy. Ia selalu memberikan telinganya untuk mendengarkan ceritaku, tapi tetap menghormati privasiku dengan tidak mengejar-ngejar hal yang tak ingin kubicarakan.

"Bukan lagi. Gue sampai nggak bisa tidur hahaha."

Dessy tertawa ngakak. "Dasar anak muda."

"Eh, lo pikir lo bukan anak muda?!" balasku ikutan tertawa ngakak. "Gue aja sampai sekarang masih nggak percaya. Kok bisa Nico sepercaya itu sama gue ya? Padahal kita belum lama kenal."

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang