Why Do You Love Me?

61 7 0
                                    

Haruskah aku memakai eye shadow bernuansa cokelat atau abu-abu ya? Kalau dicocokkan dengan pakaian sih, lebih cocok warna abu-abu. Tapi aku tidak terbiasa mengenakan eye shadow abu-abu sehingga aku kurang PD. Bagaimana kalau nanti ternyata malah jadi aneh? Repot lagi menghapusnya.

Ya sudah, aku mengenakan warna cokelat terang saja. Warna aman, dan cukup cocok dengan gaun mermaid warna olive dan sepatu cokelat mudaku.

Baru aku mau memulaskan eye shadow, tiba-tiba saja pintu kamarku dibuka dengan cukup keras hingga membuatku kaget.

"Pelan-pelan aja buka pintunya nggak bisa ya?!" protesku pada Maudy yang seenaknya saja membuka pintu dan menyeruak masuk kamarku. "Untung nggak kecoret ini mata gue."

"Kak, Nico gebetan lo itu Nico yang dulu bapaknya pejabat bukan?"

Aku mengernyit bingung. Memangnya aku belum cerita ya? "Emang kenapa?"

"Astaga, Kak! Lo tuh kalau jatuh cinta mikir-mikir dulu. Jangan main cinta-cinta aja!" ujar Maudy. "Nico itu nggak sebaik yang lo bayangkan. Dia aja bapaknya masih di penjara."

Kehebohan sikap Maudy ini membuatku bingung juga kesal. "Emang kenapa sih, Maudy?" Aku sudah tahu soal itu. Aku bahkan tahu Mama Nico saat ini juga masih di rumah sakit jiwa. "Gue udah tahu kok soal itu, Nico yang cerita. Ya gue emang belum nyeritain ke lo sih."

"Aduh, Kak. Mending lo udahan aja deh ngejar-ngejar cinta dia. Nico itu nggak baik. Cowok gue itu, kakaknya teman sekolah Nico dulu. Dan Nico bandel banget. Kerjaannya bolos, balapan liar, clubbing, judi, bahkan katanya dia sering hampir masuk penjara kalau bukan karena ditebus bapaknya," Maudy mencoba menasehatiku.

Berhenti mengejar cinta Nico? Saat sudah kurasakan kemajuan pesat, hasil dari jerih payah dan kesabaranku? Yang benar saja? "Sekali lagi, gue udah tahu, Maudy. Itu masa lalu. Ya, dulu emang Nico bandel. Tapi sekarang dia beda, dia nggak seburuk itu," ujarku. Dengan gerakan cepat, aku memulaskan maskara. Kurang dari lima menit lagi Nico akan sampai. "Gue berani taruhan, kakak pacar lo itu nggak kenal sama Nico yang sekarang."

Dari pantulan cermin, aku melihat Maudy geleng-geleng tak percaya. "Kayaknya lo udah cinta buta sama Nico sampai nggak dengerin kata-kata gue. Nico emang ganteng dan sopan, tapi siapa yang jamin aslinya dia sebaik itu."

"Jangan sembarangan nge-judge orang sebelum lo benar-benar kenal dia, Maudy. Udah ah gue buru-buru!" usirku.

Entah Maudy yang tidak peka atau belum selesai dengan ceramahnya, dia malah duduk di tepi tempat tidurku. "Oke lah, kita anggap sekarang Nico baik. Tapi lo bayangin aja deh, nanti lo bakal bersuamikan laki-laki yang keluarganya kacau begitu."

Lagi-lagi, aku mendengar suara pintu kamarku terbuka lebar. Kali ini Mama yang masuk. "Heh, pelan-pelan kalau ngomong. Itu di depan ada Nico!"

Gerakanku memulas maskara terhenti seperti video yang di-pause. Maudy tak ubahnya dengan diriku, ia juga kaget.

"Dari tadi, Ma?" tanyaku setelah sedikit pulih dari kekagetanku.

"Lumayan lama sampai dengar omongan kalian."

Seluruh darahku terasa seperti tersedot habis, dan wajahku pasti tampak pias. Kenapa Mama tidak bilang sejak tadi? Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Nico kalau sampai ia dengar ucapan Maudy. Ingin rasanya saat ini aku memarahi Maudy habis-habisan. Namun dengan Nico di ruang tamu rumahku, tak mungkin aku teriak-teriak pada Maudy.

"Kalau sampai Nico jadi aneh sama gue, ini salah lo!" desisku pada Maudy setelah Mama keluar.

"Ya bagus, berarti dia sadar diri."

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang