What Can I Do

61 10 0
                                    

"Gue udah putus sama cowok gue," kata Dessy seraya mengaduk-aduk mangkuk soto betawinya.

Tanganku yang hendak menyuapkan sesendok soto terhenti di udara. Aku tertegun. "Serius lo?"

"Iya," jawabnya. Walaupun begitu, bibirnya masih bisa tersenyum. "Udah dari dua hari yang lalu sebenarnya. Gue udah capek ngejalanin hubungan toxic sama dia. Sebenarnya, bahkan sejak sebelum dia sering tugas di luar kota dia udah kelihatan posesifnya. Tapi ya udah aja gue maklumin. Eh, makin kesini malah makin keterlaluan dia mengekang gue," cerita Dessy. "Lagian apa artinya hubungan kalau udah nggak ada rasa percaya?"

"Sabar ya, Des," kataku. Dessy dan pacarnya (koreksi, mantannya) sudah dua tahun tiga bulan menjalin hubungan. Walau putus adalah keputusan terbaik, pasti Dessy tetap merasa kehilangan. Aku hanya berharap ini bukan keputusan yang akan disesalinya.

Dessy mengangguk. "Awalnya gue nyesek ngebayangin pas mau putus sama dia. Namanya udah lama kan, mana orang tua kita juga udah saling kenal. Gue udah sholat istikharah dan mikir-mikir lagi, dan ternyata ini jawabannya. Mungkin kita emang bukan jodoh. Malah setelah putus, gue ngerasa lega."

Kali ini aku percaya Dessy tidak sedang pura-pura. Ia memang kelihatan lebih baik sekarang. Bahkan katanya Dessy mulai menjalin kembali hubungan pertemanan dengan teman-teman lamanya. Yang sempat ia abaikan karena fokus berpacaran. Ia bahkan sudah mulai berkenalan dengan beberapa lelaki di media sosial.

Enak sekali jadi Dessy yang gampang move on.

***

Aku menoleh saat melihat seseorang masuk ruang divisi marcomm. Ia tampak celingukan mencari seseorang.

"Cari siapa, Mas?" tegurku.

"Nico ada nggak, Mbak?" tanyanya.

"Oh, dia lagi ke toilet. Tunggu aja, Mas. Paling sebentar lagi balik."

Yang dicari kebetulan datang. Nico langsung menyapa orang itu seolah mereka teman akrab, dan tampaknya memang seperti itu. Mereka bahkan saling memanggil dengan sebutan 'bro'.

"Duduk, Bro. Ambil aja tuh kursi," kata Nico seraya mengendikkan kepalanya ke arah kursi kecil di dekat Mas Tian.

Orang itu menggeret kursi kecil tersebut dan duduk di samping Nico. Sambil mengerjakan pembayaran vendor, aku memperhatikan mereka sesekali. Nico dan Farhan (aku mendengar nama lelaki itu saat Nico menyapanya) sedang mendiskusikan sebuah rencana project.

"Pertengahan April nanti bakal ada acara Literasi Bangsa. Kita salah satu sponsor acaranya. Rencananya kita nanti mau bikin booth sama ngadain seminar dan pengenalan saldo pulsa Starlight juga bisa buat pembayaran e-book," papar Farhan.

"Di mana acaranya?" tanya Nico.

"Di Perpusnas. Nah, kita butuh support Marcomm nih buat acara itu. Kompisisi budget, gampang lah. Bisa dibagi dua."

Dan seterusnya, mereka asyik berdiskusi tentang acara Literasi Bangsa tersebut. Mulai dari efektivitas, target penjualan, hingga rencana kegiatan. Ngomong-ngomong kalau diperhatikan, Farhan ini oke punya. Ia tinggi berisi, berkulit kecokelatan, rambut ikal tebal yang dipotong rapi, alis tebal yang memayungi sepasang matanya yang tajam, ia juga memiliki rahang tegas dan bibir yang terbelah di bagian bawah. Aku bahkan bisa melihat otot lengannya menyumbul di balik lengan kemejanya. Aku yakin farhan pasti rajin nge-gym.

Tapi seoke-okenya Farhan, di mataku jelas tetap lebih oke Nico! Hmm sepertinya aku sudah kepincut cinta tingkat tinggi pada Nico hingga aku tak peduli pada lelaki lain walau ia punya ketampananan seperti Ben Barnes.

"Ya udah, gitu dulu aja ya, Bro. Proposalnya insyaallah gue submit sore ini," kata Farhan seraya beranjak.

"Oke," sahut Nico.

Upik Abu dan PangeranWhere stories live. Discover now