Tentang Kamu

76 11 0
                                    

Empat bulan berlalu sejak Nico resign dari Starlight. Menghilang dari jangkauan pandanganku, juga dari hidupku. Janji untuk tetap menjaga silaturahmi hanya janji belaka. Yang ada Nico semakin jauh, tak terjangkau. Ia bahkan sudah tidak lagi membalas pesanku saat aku menanyakan kabarnya. Entah ia lupa atau memang sengaja tidak menghiraukan aku. Sebagai perempuan, aku juga harus menjaga harga diri dan tidak membuat Nico risih dengan berhenti menghubunginya.

Tiada hari yang kulewatkan tanpa merindukan Nico. Tiap jengkal kantor Starlight serta jalan raya yang kulalui setiap berangkat dan pulang kantor selalu mengingatkan aku akan dirinya. Segala cara kulakukan untuk melupakannya, termasuk mengingat-ingat kenyataan pahit bahwa Nico tidak mencintaiku dan tidak akan membalas perasaanku. Namun tak ada yang berhasil. Semakin aku berusaha melupakannya, semakin pilu hatiku. Hingga akhirnya aku menyerah dan membiarkan saja Nico membayangi hari-hariku.

Hanya melalui media sosial aku mengetahui kabar Nico. Bisnisnya berjalan lancar dan ia tengah berbahagia menikmati waktu-waktu yang hilang bersama keluarganya. Mereka tampak hangat. Aku baru tahu Nico mewarisi wajah rupawan dan kulit cerah dari mamanya. Sedangkan dari papanya, Nico mewarisi bentuk rambut yang ikal dan sepasang lesung pipi.

Walau sempat terpuruk, tapi akhir-akhir ini aku merasa lebih baik. Paling tidak aku berhasil melalui satu bulan tanpa menangis karena merindukan Nico. Bukan berarti aku tidak lagi merindukannya, hanya saja mungkin hatiku sudah lebih ikhlas. Lagipula memang tak ada yang bisa kulakukan selain terus maju menjalani hidupku sebaik-baiknya, dan juga mendoakan yang terbaik untuk Nico, juga untukku.

"Jenar, draft promonya udah oke ya. Udah bisa lo sebar ke divisi bisnis. Jangan lupa hari Kamis lo tagihin supaya kita bisa susun promonya tepat waktu," kata Mas Dion.

"Oke, Mas."

"Kerjain besok aja, Nar. Udah malam. Kita balik aja."

Aku mengangguk. Aku sendiri pun sudah lelah dan mataku sudah berat. Andai saja Nico masih di sini. Aku takkan mengenal kata lelah, walau digempur pekerjaan sampai tengah malam. Pikiranku tiba-tiba terhanyut memikirkan Nico lagi.

Oh, ya Tuhan! Apa yang baru saja kulakukan? Aku tidak boleh kebanyakan berandai-andai tentang Nico. Bukankah seharusnya aku sudah ikhlas? Kalau aku begini terus, kapan aku bisa move on?

"Bareng gue aja yuk ke stasiunnya. Gue naik taksi," ajak Mas Dion setelah selesai membereskan barang-barangnya.

Aku mengangguk setuju. Kami pun keluar kantor bersama-sama. Lift meluncur turun dengan lancar tanpa berhenti sampai lantai dasar. Wajar saja, sekarang sudah pukul setengah sepuluh malam, mayoritas penghuni kantor sudah di rumah masing-masing. Kecuali mereka yang dikejar deadline. Sesampainya di lantai dasar, Mas Dion minta tolong pada security untuk dipanggilkan taksi.

"Puyeng banget gue nggak ada Nico," keluh Mas Dion begitu kami sudah duduk di dalam taksi. "Si Abi tuh kerjanya lama, kurang inisiatif lagi! Padahal namanya orang Marcomm kan harus yang kreatif dan penuh inisiatif. Coba tuh lihat, ujung-ujungnya kita juga yang repot. Bahkan lo harus ngerjain banyak hal di luar jobdesc. Kayak tadi barusan, draft promo buat WA dan SMS blast sama draft promo divisi bisnis kan harusnya kerjaan dia!"

Aku hanya menanggapi ucapan kesal Mas Dion dengan senyum kecil. Ya, Mas Dion memang benar. Abi tidak cekatan dan kreatif seperti Nico. Mungkin karena pengalaman kerja Abi sebelumnya memang tidak ada hubungannya dengan Marketing Communication. Agak mengherankan kenapa dia bisa masuk divisi Marcomm.

Tapi ngomong-ngomong, ternyata bukan hanya aku saja yang belum bisa move on dari Nico. Hanya saja, Mas Dion belum bisa move on dari Nico sebagai rekan kerja. Sedangkan aku belum bisa move on dari Nico sebagai partner kerja dan separuh rohku.

Upik Abu dan PangeranDonde viven las historias. Descúbrelo ahora