Pertanda

53 12 0
                                    

Pagi yang dingin di Lembang, Bandung. Benar-benar dingin hingga aku harus mengenakan jaket untuk melapisi piyama panjangku dan menutup kepalaku dengan tudung jaket. Lagu Nada-Nada Cinta mengalun dari ponselku, menemaniku menikmati suasana Bandung pagi yang dingin dan damai dari balkon kamarku.

Aku melongok saat mendengar langkah-langkah sepatu dan suara mengobrol. Rupanya beberapa orang sudah bangun dan sedang siap-siap berolahraga. Bahkan Mas Fahri sudah membawa sepasang raket.

"Duluan ya!" pamit Mas Dion, Mas Tian dan Mbak Sekar.

Nico dan Mas Fahri mengangguk, mereka tidak ikut Mas Dion, Mas Tian dan Mbak Sekar yang sepertinya akan jogging di sekitar hotel. Sementara Mas Fahri dan Nico tetap di lapangan, mereka hendak main bulutangkis. Dari balkon kamarku, aku memperhatikan mereka main bulu tangkis di taman hotel yang lapang dengan senyum terkulum di bibir.

Sebenarnya Nico tidak jago-jago amat main bulutangkis. Beberapa kali Mas Fahri mengalahkannya. Tapi aku suka sekali mengamati sosoknya. Nico tetap menawan walau ia hanya memakai kaos oblong putih polos dan celana training. Aku suka melihat tertawanya dan mendengar suaranya saat sesekali ia mengobrol dengan Mas Tian sembari bermain.

"Ciyeee..." aku terlonjak kaget saat tiba-tiba Dessy muncul. Ia baru selesai mandi, rambutnya terbungkus handuk. "Disemangatin dong itu kekasihnya."

"Ssst!" aku mendesis. Khawatir Nico mendengarnya.

Dessy malah cekikikan geli. "Gue bantuin deh semangatin dia."

"Udaah ah! Gue mau mandi," ujarku seraya buru-buru kabur. Huh, interupsi yang menyebalkan. Menggangguku saja yang sedang menikmati pemandangan indah!

***

"Bawa baju ganti nggak, Nar?" tanya Dessy.

"Mager gue, ribet," sahutku seraya memasang jarum pentul di jilbabku.

Dessy tampak menimbang-nimbang. "Gue bawa aja deh," putusnya. "Biarin gue tinggal di bus. Siapa tahu nanti main basah-basahan."

Aku jadi bimbang juga sekarang. "Gue juga deh," gumamku. Perkara pakaian ganti itu nantinya akan berguna atau tidak, itu urusan nanti. Toh kami bisa meninggalkannya di bus.

Agenda hari ini adalah outbond di kawasan Cikole. Kami menuju kesana menggunakan bus. Karena permainan-permainan outbond sarat kegiatan fisik, maka kami disarankan untuk mengenakan kaus dan celana training serta sepatu. Celakanya, aku tidak bawa sepatu ganti. Sepatu yang kupunya saat ini hanya sepatu kanvas putih, tak mungkin aku menggunakannya untuk outbond. Bisa berabe kalau sampai kotor.

Jujur saja, aku begitu merasa excited seolah-olah semua ini adalah pengalaman pertama. Padahal aku sudah beberapa kali ikut outing di kantor-kantor sebelumnya dengan beragam kegiatan yang tak kalah seru. Mungkin karena outing kali ini aku bersama teman-teman yang seru. Mungkin karena ada Nico. Ya, pada akhirnya sekarang aku mengerti. Tak penting ke mana kita pergi jalan-jalan, melainkan dengan siapa kita pergi jalan-jalan.

Kami berangkat ke lokasi outbond pukul sembilan pagi dan tiba di lokasi sekitar pukul setengah sepuluh. Bus berhenti di sebuah kawasan yang dikelilingi pohon pinus. Sangat sejuk walau secercah sinar matahari menempus sela-sela pepohonan. Sebelum memulai kegiatan outbond, kami lebih dulu berkenalan dengan seorang pemandu bernama Bobby dan mendengarkan instruksi. Kami akan melakukan tiga permainan, yakni estafet, jembatan elvis dan paintball.

"Sekarang kita bagi tiga kelompok ya. Biar seru, kita bagi kelompoknya secara acak," kata Bobby. "Berhitung satu sampai tiga, dimulai dari sana," Bobby menunjuk Mas Adit.

"Satu!" seru Mas Adit.

"Dua!" Mbak Sekar menyahut.

"Tiga!" sambung Dessy.

Upik Abu dan PangeranWhere stories live. Discover now