Teman Istimewa

54 9 0
                                    

Kepalaku rasa mau meledak. Sudah hampir pukul sembilan malam dan aku masih tertahan di kantor, lebih tepatnya di meja kerja Maya. Kami berdua sedang bekerja dalam hening, tanpa obrolan apalagi candaan. Bukan karena kami sedang bersitegang, melainkan karena memang pekerjaan kami membuat urat saraf menegang. Aku dan Maya sedaang menghitung pengeluaran saat kami outing dua minggu lalu.

Memang dalam kepanitiaan outing, urusan keuangan lah yang paling pusing. Sebelum acara, kami harus membuat anggaran, mengajukannya, dan mencairkan dana. Selama jalannya acara, kami harus memastikan uang tersebut cukup dan mengerem pengeluaran yang boros dan tidak diperlukan. Setelah acara, di saat yang lain sedang melihat foto-foto atau membicarakan keseruan outing sambil tertawa, kami masih harus berkecimpung menghitung pengeluaran dan mencocokkannya dengan dana yang tersisa. Jujur saja, bagian terakhir ini lah yang paling memusingkan, hingga aku dan Dessy terus menunda sampai kami ditagih penyelesaian oleh divisi keuangan. Celakanya, tidak semua pengeluaran dicatat karena aku dan Dessy sendiri juga larut dalam keseruan outing bersama teman-teman yang lain.

"Kenapa masih kurang satu setengah juta ya?" gumam Dessy sambil menatap layar monitor putus asa, sementara kepalanya (yang tampaknya sudah berat) bertumpu pada tangan kirinya. "Di lo masih ada struk keselip nggak?" tanya Dessy padaku.

"Struk di gue udah gue kasih semua ke lo, Des."

Dessy berdecak, antara kesal dan pusing. "Kok banyak banget ya kurangnya? Jangan-jangan ini bocor di pengeluaran pas abis main gaplek itu lagi, pas Pak Prabu minta beli makanan sama Mas Didit. Terus sama beli camilan pas mau pulang."

"Tapi Mas Didit udah ngasih struknya kok, gue rasa itu udah lengkap semua. Pas pulang juga kan udah gue kasih lo struknya," jawabku. "Aduh, ini kalau sampai segini kita nombok lumayan banget."

"Hah, duit segitu daripada buat nombokin duit outing, mending gue pakai checkout keranjang shopee deh," kata Dessy asal.

"Geblek!" ujarku tertawa geli mendengar celetukan Dessy. Kemudian sebuah pemikiran melintas di otakku yang sudah buntu. "Eh, sisa duit yang di rekening lo ada kepakai kali? Itu kecampur nggak sama uang pribadi lo dan petty cash?"

Mata Dessy yang sudah sepat tidak karuan tiba-tiba membelalak. "Oh iya! Itu duitnya jadi satu rekening sama petty cash!" serunya saat mendapat pencerahan mendadak. "Minggu kemarin dipakai buat meeting Bapak dua juta! Duit petty cash-nya kan cuma lima ratus ribu, sisanya gue talangin dulu pakai duit sisa outing!"

"Astaghfirullahaladzim!!!" ujarku setengah berseru, hingga orang-orang yang tersisa di ruangan ini menatap kami sejenak. "Aduh Deeesss dari tadi kita puyeng nyari-nyariin, nggak tahunya kepakai itu duit."

Dessy meringis. "Sorry, gue lupa hehehe..."

"Terus kapan itu duit balik? Mana orang finance minta hari Senin lagi laporan pertanggungjawabannya."

"Senin balik, insyaallah. Gue udah ngajuin petty cash lagi kemarin."

Aku membuang napas lega. "Hah, syukurlah. Merdeka weekend gue bisa tidur. Ya udah yuk ah balik, udah kemaleman gue."

"Iya, gue juga udah puyeng," kata Dessy seraya mematikan laptop dan membereskan mejanya.

Dengan mata yang sudah sepat karena fokus menatap laptop entah berapa jam, dan hati lega, aku kembali ke meja kerjaku untuk beres-beres.

"Belum pulang, Nic?" sapaku saat melihat Nico di mejanya. Saking fokusnya hitung-hitungan bersama Dessy, aku sampai tidak menyadari Nico masih ada di kantor.

"Ini baru mau pulang," jawab Nico seraya menutup laptop.

Aku mengangguk dan kembali beres-beres.

"Mau bareng?" tawar Nico.

Upik Abu dan PangeranWhere stories live. Discover now