Ikhlas Aja

66 9 0
                                    

Nico mengantarku sampai rumah. Ia bahkan membantu menurunkan bawaanku dan menyapa Mama serta basa-basi sebentar dengan gaya ramahnya seperti biasa sampai Mama ikut jatuh hati pada Nico dan berharap si lelaki tampan itu jadi menantunya suatu saat. Kalau saja bukan karena kelanjutan obrolan kami yang cukup mengganggu pikiranku, aku pasti sedang tersenyum bahagia gara-gara mabuk kepayang. Tidak enak sekali rasanya kebahagiaan yang disertai beban pikiran.

Gara-gara insiden pohon tumbang itu, aku dan Nico terjebak macet lumayan lama. Banyak hal yang kami bicarakan sementara Nico mengemudikan mobilnya dengan sabar sejengkal demi sejengkal. Tapi aku akan menceritakan yang terpenting saja. Tentang hal yang mengganggu pikiranku.

"Terus gimana bagi waktunya itu?" tanyaku makin antusias ketika kami membicarakan tentang hobi sekaligus usaha Nico. "Kerjaan kita aja udah sibuk banget, kamu juga masih harus ngurus Mama dan Papa kamu."

"Ya aku urus usaha itu di luar jam kerja. Aku dibantu sama sepupu ngurus toko sama kebun. Paling kadang di kantor aku mantau sesekali."

"Wah, nggak kebayang," kataku tak habis pikir. "Aku aja kadang rasanya kayak nggak punya waktu buat jalani hobi."

Nico menoleh, tampak tertarik. "Hobi kamu aja, Jenar?"

"Aku suka masak. Ya, nggak jago amat sih. Tapi aku suka ekperimen gitu di dapur. Dulu pas masih kuliah sempat-sempat aja masak iseng di rumah. Tapi sejak udah kerja rasanya kayak udah malas gitu. Weekday, capek kerja. Weekend udah mager, pengennya gegoleran."

"Bagus sebenarnya hobi kamu," kata Nico. "Kalau difokusin bisa aja jadi ladang usaha."

"Iya sih, tapi kan ya gimana? Mau fokus, udah sibuk kerja. Mau resign juga sayang. Usaha kan spekulasi, dan aku masih belum berani keluar dari zona nyaman. Soalnya, you know lah."

Nico manggut-manggut mengerti bahwa yang kumaksud, saat ini aku masih jadi tumpuan keluarga. "Ya emang susah sih kalau hobi atau usaha disambi kerja. Jadi kurang maksimal. Makanya tahun ini rencananya aku mau resign. Usahaku alhamdulillah udah stabil. Jadi aku mau fokusin."

Aku menoleh, menatap Nico tak percaya. "Resign?!" ulangku, dengan intonasi lebih tinggi.

Nico mengangguk, tampak tidak menyadari kekagetanku. "Iya. Lagian rasanya pengalaman kerjaku udah cukup buat jalanin usaha"

Begitulah kira-kira. Nico tidak mengatakan padaku kapan tepatnya ia akan resign. Tapi sekarang sudah masuk pertengahan tahun! Kalaupun Nico resign akhir tahun, berarti takkan lama lagi bukan? Kalau Nico resign dalam keadaan kami sudah jadian sih tidak masalah. Kangen? Tinggal telepon, atau ajak ketemuan sekalian.

Masalahnya adalah, tampaknya aku dan Nico masih jauh dari kata jadian. Lalu bagaimana cara mendapatkan hati Nico dalam tempo yang sesingkat-singkatnya? Aku khawatir kami akan putus kontak. Kalau sampai itu terjadi, mungkin aku bisa gila. Aku sudah terlanjur mencintainya, dan perasaan ini sudah mengakar terlalu dalam di hatiku.

Ya Tuhan, tolonglah hamba-Mu ini.

***

Dessy tampak tidak kaget saat aku menceritakan tentang rencana Nico yang hendak resign. Rupanya Nico memang sudah merencanakannya sejak lama. Bahkan sebelum aku melamar kerja di Starlight.

"Aduuh... sedih banget gue, Des. Terus gimana kalau Nico resign? Hilang deh separuh roh gue," curhatku. Aku dan Dessy makan siang di Mall Kota Kasablanka. Tidak ada sesiapaun yang kami kenal sehingga aku bisa bebas curhat bombay.

Dessy menatapku. "Lo segitu cintanya ya sama Nico?"

Aku mengangkat bahu. Cara Dessy bertanya membuatku sungkan untuk mengatakan iya.

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang