Turning Pages

94 12 0
                                    

Perasaanku jadi lebih lega setelah menceritakan pada Dessy tentang perasaan terpendamku pada Nico. Seharusnya aku tahu aku punya teman baik yang bisa dipercaya dan tidak akan mempermalukanku. Apalagi tanggapan Dessy terasa menyejukkan. Ia tidak mengomporiku dengan harapan-harapan palsu yang belum pasti, juga tidak membuatku pesimis hingga menyesal cerita kepadanya. Aku baru tahu, di balik sikap Dessy yang kadang cuek dan kadang ceplas-ceplos, dia juga bisa bijak.

Berkat Dessy juga, aku jadi tahu sedikit tentang Nico. Tentang latar belakang keluarganya, juga tentang cinta monyet masih menjeratnya hingga sekarang sampai ia susah move on. Informasi berharga yang takkan kudapatkan kalau aku hanya diam saja dan memendam sendiri perasaan ini.

Sambil merapikan dokumen-dokumen yang baru ditandatangan Pak Prabu, aku melirik ke arah Nico. Lelaki itu tampak sedang meeting online. Wajahnya terlihat serius dengan sepasang headset menyumpal di telinganya. Dari sekian lelaki yang pernah singgah di hatiku, Nico adalah yang paling tidak peka. Iya sih menyebalkan, tapi ada untungnya juga. Karena aku bisa menatapnya tanpa takut ketahuan olehnya. Jujur saja aku kadang heran, karena biasanya orang akan merasa jika ada yang menatapnya lama-lama. Tapi tidak dengan Nico. Aneh sekali.

"Kalau suka ya ngomong aja, Jenar. Jangan cuma dilihatin aja."

Aku terkejut. Darahku seolah terserap seluruhnya. Ya benar, aku tidak perlu khawatir Nico akan mendapatiku menatapnya. Tapi aku lupa mengkhawatirkan orang-orang di sekitar kami yang bisa saja memergokiku. Dan sekarang Mas Dion sedang cengar-cengir di mesin fotokopi.

Dengan senyum geli campur jahil, Mas Dion kembali ke mejanya dan menepuk bahu Nico. Nico yang dari tadi memang sedang serius mengikuti meeting online jadi terlonjak kaget. Kemudian Mas Dion melaporkan pada Nico kalau sejak tadi aku memandanginya. Aku jadi ingin menghilang saja rasanya!

"Nic, dilihatin mulu sama Jenar tuh. Sok nggak peka banget lo," ujar Mas Dion meledek.

Nico melepaskan sebelah headsetnya dan menoleh ke arahku. Seketika aku mengalihkan pandangan dan sok sibuk kembali merapikan dokumen.

"Ciyee salting hahaha!" Mas Dion makin girang meledekku. Bahkan Mas Tian yang duduk di sebelahku, yang sejak tadi diam saja, jadi ikut-ikutan tertawa dan meledekku.

"Ooh, jadi Jenar sama Nico nih? Aturan tukeran aja ya tempat duduknya. Nic, sini lo duduk di tempat gue aja nih, samping Jenar," ledek Mas Tian.

Aku penasaran juga ingin melihat reaksi Nico. Sehati-hati mungkin, aku melirik Nico. Lelaki itu hanya senyum-senyum saja. Entah salah tingkah atau merasa geli. Eh, tapi malu-malu begini kok rasanya menyenangkan juga ya diledek sama Nico?

***

Pukul lima sore. Beberapa orang mulai membereskan meja, mematikan laptop dan besiap pulang. Pun dengan diriku. Pekerjaanku sudah selesai untuk hari ini. Aku segera mematikan laptop dan membereskan meja. Sebelum pulang, aku mampir sebentar ke toilet. Sekembalinya aku dari toilet, aku melihat Pak Prabu sedang mengobrol dengan Nico.

"Syuting video bumper jadi kan besok?" tanya Pak Prabu.

"Insyaallah jadi, Pak."

Pak Prabu mengangguk. "Besok insyaallah saya nyusul ya. Mungkin siang agak sorean." Seolah menyadari kehadiranku, Pak Prabu kemudian menoleh ke arahku. "Jenar besok ikut ngawal syuting ya sama Nico. Biar sekalian belajar juga."

Aku berusaha menjaga ekspresiku supaya tidak tampak kegirangan. "Baik, Pak."

Pak Prabu mengangguk puas dan kembali ke ruangannya. Masih dengan ekspresi yang kubuat sewajar mungkin, aku bertanya pada Nico. "Jam berapa besok syutingnya?"

"Pagi, Jenar. Jam 7 udah harus di lokasi," kata Nico. "Tapi kalau kamu mau datang agak siang, nggak apa-apa. Rumah kamu jauh soalnya."

Aduuh! Nico pengertian banget sih. Jadi makin kesengsem deh! "Oh, nggak apa-apa. Insyaallah aku usahain datang pagi. Di mana lokasinya?"

Upik Abu dan PangeranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang