Bab 15 Peran Sebagai Istri

3.1K 653 174
                                    

Hasna duduk bersimpuh di lantai bersama ukhty Lia. Di depan sana, Umi masih sibuk meresapi bacaan kitabnya. Wanita paruh baya yang kini dihiasi sedikit kerutan halus di bawah netranya itu memperbaiki kacamata yang bertengger di hidung, lalu melihat ke arah Hasna, baru menyadari kehadirannya.

"Loh, kenapa kalian di bawah? Sini duduk di atas."

"Gak usah, Umi." Lia menjawab. Menurut para santri di pesantren ini, memuliakan guru itu termasuk usaha mencari ridho-Nya.

"Baiklah." Umi Zulfa akhirnya yang turun, dan duduk di kasur berukuran kecil tempat anak bungsunya biasa santai sambil menonton televisi.

"Bagaimana keadaan kamu, Hasna?"

"Baik, umi."

"Oh iya, mulai besok kamu gantikan Lia buat piket di ndalem ya," titahnya pada Hasna.

Hasna dan Lia mengangkat wajah.

"Hah? Ana, Umi?"

"Kamu keberatan?"

Hasna menggeleng cepat. Katanya, justru itu keberuntungan untuk seorang santri. Karena selain untuk mencari ridho guru juga agar ilmunya bermanfaat dunia akhirat.

"Lia, mulai besok kamu yang bertugas mengatur menu dapur. Soalnya kasian Mbok Ijah sendiri. Zainap yang biasa bertugas kan sudah menikah."

"B-baik, Umi." Diam-diam tangan Lia terkepal erat, dia seakan tidak rela Hasna menggantikan dirinya. Rasanya aneh saja tugasnya digantikan santri junior yang belum lama berada di pondok. Biasanya, para abdi ndalem yang dipilih untuk tugas piket-adalah mereka yang memang sudah lama berada di pesantren.

"Kamu boleh pergi, Lia."

Lia berdiri, mengucap salam, mundur tiga langkah lalu berbalik pergi. Hasna melakukan hal yang sama, namun dihentikan oleh umi zulfa.

"Saya ingin bicara denganmu, Nak."

"Sa-saya, umi?" Hasna menunjuk dirinya sendiri.

Umi zulfa mengangguk, kemudian meraih tangan gadis itu untuk kemudian ia bawa ke kamarnya. Beliau meminta Hasna duduk di tepian ranjang.

"Maaf ya, Nak. Umi tidak berniat untuk menjadikan kamu petugas piket. Tapi, Umi hanya berusaha mendekatkanmu dengan suamimu. Coba saja kamu tidak melarang Irham merahasiakan status pernikahan kalian. Kamu bisa tinggal enak di sini."

"Umi tahu?"

"Kamu fikir Gus Irham tidak izin dulu jika mau menikah? Sayang sekali, kamu maunya dirahasiakan katanya," ujar Umi Zulfa sambil tersenyum.

"Kami cuma akad, Umi. Belum sahabat secara hukum."

"Kata siapa? Nama kalian sudah terdaftar di KUA, tinggal nunggu surat nikahnya jadi."

Kedua Iris gadis itu membeliak tak percaya, Hasna pikir hanya nikah siri.

Umi zulfa berjalan kelemari, merogoh sesuatu di laci kecil dalam almarinya lalu membuka kotak perhiasan miliknya.

Hasna tersentak ketika Umi zulfa memakaikan gelang emas di tangannya. "I-ini apa, Umi?"

"Ini perhiasan turun temurun. Ning Abel sudah memiliki kalungnya, jadi gelang ini milikmu sekarang."

"T-tapi, umi. Saya...."

"Kamu istri Gus Irham. Jadi, kamu juga berhak." ucapnya. Tak selang lama beliau kembali berkata.... "Oh iya, di meja makan ada nampan berisi makanan. Tolong bawa ke kamar Gus Irham ya. Gus menolak makan bersama karena dia bilang tangannya masih perih."

"Perih?" pikirnya. Apa karena luka saat melawan preman itu? "Ah iya, ba-baik, Umi." Sambil Terbata Hasna pamit undur diri. "Kalau begitu ana pamit, Umi. Assalamu'alaikum."

Pangeran Pesantren [New Version]Where stories live. Discover now